Page 93 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 93
terimbasi ungkapan Jawa ngono ya ngono neng aja ngono (begitu ya begitu tapi mbok
jangan begitu (keterlaluan). Maksudnya, boleh saja mengungkap kesalahan orang lain,
tapi ingat siapa orang yang akan diungkap itu, berjasa atau tidak?. Bukti yang tidak
akan hilang dari ingatan kita adalah, bagaimana kesungguhan Presiden BJ. Habibie,
Andi M. Galib, dan jajarannya dalam mengusut Soeharto. Padahal, landasan hukum
(TAP MPPR) tentang usaha ini sudah ada, telah disosialisasikan lewat televisi – namun,
mengapa masih terjadi kebocoran telepon yang sangat memalukan dunia
internasional?
Padahal, jauh sebelum itu sebenarnya Pak Amin (sebutan Amin Rais telah
mengusulkan agar kekayaan pejabat diteliti (diusut) before dan after, sebelum dan
sesudah menjabat sehingga akan terlihat kalau ada unsur KKN atau tidak. Alasannya,
agar terbangun pemerintahan yang clean government. Namun, apa yang terjadi
dipanggung sandiwara politik kita, justru sering muskil. KPKPN yang dibuat pemerintah
mengurusi kekayaan pejabat, lumpuh juga dalam mengkoyak pejabat yang korup.
Akibatnya, harus terjadi -- orang awam saja tahu kalau yang salah adalah pejabat X,
kok yang dipenjara Y, kan aneh dan tak lucu. Dari sinilah memang bagus kalau pak
Amin selalu melantunkan jihad suci, sebagai bagian amar ma’ruf nahi munkar. Seperti
halnya yang ia ungkapkan terakhir di SCTV (Liputan 6 Pagi, tanggal 23 April 1999)
yakni: Kini Indonesia sudah aneh, ada jaksa membebaskan terdakwa, Bedu Amang,
dibebaskan begitu pula Tomy. Mungkin, kakek tua itu juga akan dibebaskan. Padahal
tugas membebaskan terdakwa adalah hakim, jaksa hanyalah menuntut.
Apakah hal itu justru tidak menantang para antropolog politik untuk ikut berperan
serta dalam melirik zaman yang serba dibumbui oleh krisis budaya? Apakah seorang
antropolog politik mampu memberikan sumbangan terhadap merebaknya zaman edan
yang akan berakibat pada kemunafikan politik dan kebudayaan terhadap hakikat
realitas hidup. Kalau antropolog politik memiliki nyali ke arah krisis budaya politik di
masa orde baru, besar kemungkinannya kita tidak akan lama menanti ramalan besar
Jangka Jayabaya (KR, 4 Mei 1997) yakni tentang pergantian kepemimpinan nasional
memang akan melewati tiga babak: (1) satriya kinunjara, yaitu tokoh Bung Karno yang
harus keluar masuk penjara, orang mengatakan Sukarno (diungkar-ungkar kena, atau
diganggu kekuasaannya boleh), (2) satriya mukti lan wibawa (analog dengan Suharto,
orang yang banyak mengumpulkan harta atau kekayaan), dan (3) satriya piningit
(pimpinan yang masih disimpan, belum jelas) masih menunggu waktu, mungkin nanti
akan sampai ratu adil.
Kini, antropolog politik ditantang untuk ikut memikirkan denyut budaya politik
orde baru yang kemungkinan besar masih bisa menggejala lagi. Setidaknya, kalau hal
itu bisa dikurangi, kita tidak akan terus amenangi zaman edan (menjumpai zaman
edan) saja, melainkan harus seperti diungkapkan Hoerip (1996:81) – yakni kita harus
amerangi zaman edan (melawan zaman edan).
Pendek kata, perlu sekali melihat lebih jauh konteks budaya yang pada saat orde
baru mendominasi dalam perjalanan politik. Tidakkah waktu itu yang ‘diagung-
agungkan’ adalah paham kekuasaan Jawa? Lepas dari paham ini baik atau kurang
baik, tetap perlu ditinjau kembali. Setidaknya agar diperoleh klarifikasi akan adanya
kekeliruan implementasi paham kekuasaan Jawa atau tidak dalam kancah politik orde
baru.