Page 98 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 98

disandingkan dengan ihwal politik. Apalagi, jika politik itu sudah dikaitkan dengan partai
               tertentu, jelas kelahiran sastra sering diboncengi niat “dalam rangka”.
                     Kini, saya sudah cukup berdamai dengan bacaan, pun tontonan. Tontonan sastra,
               entah berupa potongan adegan, garapan seni, pertunjukan puisi, dan sebagainya selalu
               bermuatan masalah politik. Pada saat digelar seleksi pertunjukan seni tradisional oleh
               Dinas  Kebudayaan  DIY  di  Socitet  Taman  Budaya,  tanggal  18Juli  2012.  Dalam
               pagelaran  yang  berbasis  musik  gamelan  itu,  syair-syair  dan  tabuhan  pun  tampak
               nuansa  poliitik.  Bahkan  hasil  keputusan  dewan  juri  untuk  memenangkan  kelompok
               tertentu, yaitu Bantul, Kulon Progo, kemudian disusul kabupaten yang lain, juga masih
               terkakit dengna politik.
                     Ya, masalah saya sekarang adalah menulis. Entah mengapa pikiran saya selalu
               menjurus  pada  sastra  (khusus  sastra  Indonesia  aja  ya).  Sehingga,  ketika  niatnya
               menulis sesuatu tentang politik pun hasilnya akan bergaya sastra, ah, ternyata segala
               kebiasaan saya dulu dalam hal membaca berdampak ketika saya ingin menulis. Sudah
               dicoba untuk menolak ide-ide yang ’nyastra’ tapi gak bisa, malah jadi kepikiran gini, kok
               jadi aneh ya,  kayak gak berpakaian gitu kesannya, Kesan semacam ini pun memiliki
               nilai politik. Politik itu, adalah ranah pribadi dan sosial yang hendak menguasai keadaan
               demi kepentingan tertentu. Politik itu hadir karena adanya kepentingan.
                     Soekito (1984) menyatakan bahwa dia tidak sempat mengikuti sejarah sastra pada
               masa  Balai  Pustaka  dan  Pujangga  Baru.  Ketika  sastra  masih  banyak  menyeruakkan
               kritik  seputaran  adat-istiadat  dan  tradisi  kolot  yang  membelenggu,  sampai  yang
               menyangkut  area  nasionalisme  dan  kesadaran  kebangsaan.  Kemudian  direvisi  oleh
               sastrawan  Angkatan  ’45  yang  memilih  untuk  realistik  dengan  konsep  baru,  ”berkarya
               dengan bebas sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani”. Pada masa lalu, kubangan
               sastra  senantiasa  berkiblat  pada  masalah  ideologi,  menuju  kemerdekaan.  Sastra
               senantiasa berwawasan politik. Sastra selalu bertuan politik.
                     Bagi saya sastra sudah begitu tergeneralisasi untuk saat ini, tidak lagi dianggap
               berat.  Ibarat  pacaran.  Dulu  pacaran  masih  jauh-jauhan,  penuh  bahasa  pujangga,
               berbalas  pantun  bak  nyanyian  burung  yang  bersahut-sahutan,  sampai  janji  setia
               menunggu sang kekasih yang tertuang dalam syair lagu; sekarang, pacaran tidak tabu
               lagi, di sinetron saja anak SD sudah dibuat pacaran oleh produsernya. Bisa dilihat dari
               situs  jejaring  sosial,  Facebook,  Twitter,  misalnya,  bahasa  sastra  begitu  marak
               dipergunakan, mungkin dipakai sebagai sarana menumpahkan ekspresi, bahkan forum-
               forum yang serius pun tak jarang disipi bahasa sastra. Baik itu kutipan dari karya yang
               sudah jadi maupun ciptaan sendiri.
                     Kalau begitu sastra memang memiliki arti politik, yang menawarkan gelagat sosial.
               Sastra dapat menyadarkan diri agar manusia paham terhadap hidup ini. Orang bercinta
               pun sebenarnya sedang bersastra dan sekaligus berpolitik. Keduanya saling asah-asih-
               asuh  menjalin  sebuah  makna.  Hal  ini—saya  khawatir—akan  bernasib  sama  dengan
               tren,  di  satu  sisi  maraknya  pengguna  sastra  ini  akan  menciptakan  suatu  budaya
               apresiasi  sastra  yang  kuat,  sehingga  akan  lebih  mudah  melahirkan  sastrawan-
               sastrawan  baru  yang  karyanya  orisinal,  yang  akan  merajai  meja-meja  penikmat,
               apresiator  dan  kritikus  sastra.  Di  sisi  lain  saya  takut  posisi  sastra  bisa  terjungkal
               olehnya,  apalagi  jika  pemahaman  sastra  ini  dianggap  hanya  sebagai  sarana
               pengungkap  perasaan  saja,  tidak  punya  kekuatan  konstruktif.  Bukankah  hal  ini
               (mungkin)  sudah  terjadi  dengan  musik  kita,  ketika  ujung  pisau  komersialisasi
   93   94   95   96   97   98   99   100   101   102   103