Page 100 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 100

kemajuan sastra. Politik sastra sering bertautan dengan sastra politik. Jika politik sastra
               adalah  upaya  menghidupkan  sastra,  sastra  politik  adalah  muatan  karya  yang  berbau
               politik.  Keduanya  jelas  berkaitan  dengan  kepemimpinan.  Banyak  karya  sastra  yang
               memuat  sastra  politik  dan  sekaligus  politik  sastra.  Karya  sastra  babad,  biasanya
               tergolong politik sastra dan sastra politik.
                     Namun, tidak jarang di masyarakat masih simpang siur memaknai politik, terlebih
               lalgi politik sastra. Hal ini juga tidak keliru, ketika landasan pikir hanya didasarkan pada
               salah satu sisi dampak politik. Dampak politik memang ada yang kotor, terutama politik
               yang mirip “jual beli”, hingga selalu ada untung rugi. Salah seorang pemerhati sastra
               yangkaya  politik  sastra  adalah  Hutomo  (1992)  dengan  berbagai  aktivitas  yang  dia
               bangun  secara  berkelanjutan.  Dia  banyak  menulis  kritik  di  tataran  sastra  lokal  Jawa,
               menjadi  penentu  geguritan  di  majalah  Panjebar  Semangat,  lalu  diberi  tintingan
               (timbangan). Timbangan pada tiap penggurit, tampaknya lebih menyentuh, hingga tiap
               tahun majalah itu juga memilih karya terbaik dengan hadiah lengganan gratis beberapa
               bulan.
                     Politik sastra Hutomo (1992) dengan menciptakan buku-buku telaah sastra Jawa
               modern,  apresiasi  sastra  khusus  Jawa  timur,  perbandingan  sastra,  dan  seterusnya
               justru  banyak  memupuk  pegiat  sastra,  Politik  semacam  ini  memberikan  peluang  bagi
               kemajuan sastra di masa depan. Politik sastra tidak semacam politik yang kotor, yang
               penuh  dengan  nepotisme  dan  akal-akalan.  Seperti  halnya  kasus  raksasa  wisma  atlit
               dan Hambalang. Kasus ini jelas sarat dengan politik. Penanganan kasus itu pun sering
               berbaur  antara  masalah  politik  dengan  hokum.  Politik  sastra  sesungguhnya  tidak
               sekotor  itu.  Biarpun  politik  sastra  itu  terkait  dengan  tindakan,  tetapi  lebih  bersih  dan
               indah.  Politik  sastra  cenderung  memposisikan  sastra  sebagai  objek  basah,  yang
               membutuhkan strategi pengembangan. Politik sastra dekat dengan strategi atau taktik
               yang elegan demi tercapainya perkembangan sastra.
                     Politik sastra menurut hemat saya dapat mencerdaskan sastrawan ketika merebut
               hati penikmat. Pramudya dan Romo Mangunwijaya (Anwar, 2010:78) dipandang sukses
               mengekspresikan aspek historis. Karyanya berjudul Bumi Manusia dan Burung-Burung
               Manyar, sungguh memukau. Kedua karya itu memiliki ruh politik sastra yang luar biasa.
               Politik historis mereka bangun, agar seolah-olah karya itu benar-benar terjadi. Dengan
               begitu  karya  sastra  menjadi  penting  dan  dapat  memimpin  pembaca  menuju  pada
               sasaran tertentu.
                     Menurut pandangan saya setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat, apalagi
               berbangsa,  selalu  bertautan  dengan  politik.  Bahwa  seseorang  menerima,  menolak,
               bahkan  mengukuhi  suatu  kewarganegaraan  adalah  suatu  sikap  politik.  Bahwa
               seseorang mengibarkan bendera kebangsaannya, itu adalah perbuatan politik. Bahwa
               seseorang  membayar pajak,  itu adalah  pengakuan  pada  kekuasaan,  jadi juga  berarti
               ketaatan  politik.  Juga  sastra  tidak  bisa  lepas  dari  politik  sejak  sastra  itu  sendiri
               dilahirkan  ummat  manusia.  Selama  ada  masyarakat  manusia  dan  kekuasaan  yang
               mengatur atau pun merusaknya, di situ setiap individu bertautan dengan politik.
                     Pernah lahir anggapan bahwa politik adalah kotor, maka sastra harus terpisahkan
               dari  politik.  Memang  bisa  saja  politik  kotor di tangan  dan  dari  hati  politisi yang  kolot.
               Kalau  ada  yang  kotor  barang  tentu  juga  ada  yang  tidak  kotor.  Dan  bahwa  sastra
               sebaiknya harus terpisahkan dari politik sebenarnya keluar dari pikiran para pengarang
               yang politiknya adalah tidak berpolitik. Politik sendiri tidak bisa diartikan hanya sebatas
   95   96   97   98   99   100   101   102   103   104   105