Page 101 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 101

kepartaian, ia adalah semua aspek yang bersangkutan dengan kekuasaan, dan selama
               masyarakat ada kekuasaan juga ada, tak peduli bagaimana eksistensinya, kotor atau
               bersih. Dan dapat dikatakan sastra yang “menolak” politik sesungguhnya dilahirkan oleh
               para pengarang yang telah mapan dapam pangkuan kekuasaan yang berlaku.
                     Banyak  juga  yang  memaknai  politik  adalah  tindakan  yang  kotor.  Silakan  saja.
               Sebab, memang di negeri ini politik selalu dipelintir-pelintir menjadi tidak karuan. Proses
               yang seharusnya mudah, ketika sudah bermain dengan politik sering berbelit-belit dan
               banyak  memakan  korban.  Politik  semacam  ini  dinikmati  dengan  gagap  dan  penuh
               kepentingan  sesaat.  Politik  dinikmati  sebagai  kendaraan  untuk  meraub  keuntungan
               pribadi  atau  golongan.  Berbeda  dengan  politik  sastra,  adalah  suatu  strategi  jitu,
               bagaimana menikmati sastra secara proporsional.
                     Sastra  bisa  dinikmati  dengan  menggunakan  dua  pendekatan,  bentuk  dan  isi.
               Pendekatan  bentuk  memungkinkan  seseorang  mengidentifikasi apakah  sebuah  karya
               sastra  masuk  dalam  kategori  prosa,  sajak, atau  yang  lain—lengkap  dengan  ciri khas
               masing-masing.  Sedangkan  melalui  analisis  isi,  seorang  akan  masuk  dan  tenggelam
               lebih dalam dalam lautan cerita yang disuguhkan. Silahkan saja pandangan dikotomis
               ini  dikembangkan.  Ini  jelas  sebuah  politik  sastra,  agar  sebuah  karya  sastra  dapat
               dimaknai  secara  lengkap.  Bentuk  dan  isi  sastra  itu  menyatu,  membentuk  sebuah
               kepaduan  makna.  Namun,  dalam  konteks  kritik  sastra,  kedua  hal  itu  sering
               dipertentangkan. Beberapa kalangan menganggap krtik sastra hanya bisa menyentuh
               “bentuk”.  Dengan  kata  lain,  isi  atau  substansi sebuah  karya  adalah  wilayah  terlarang
               bagi  seorang  kritikus.  Mereka  beralasan,  niai  suatu  karya  sastra  terletak  pada
               eksistensinya, keberadaannya. Melihat keberadaan suatu karya berarti melihat bentuk
               karya tersebut . Sementara itu, kalangan lain beranggapan kedua wilayah itu—bentuk
               dan  isi—adalah  area  bebas  alias  tak  bertuan,  sehingga  kritikus  bebas  bertualang
               dengan leluasa di dalamnya. Antonio Gramsci adalah pemikir yang bersikeras bahwa
               kritik atau analisis sastra bisa menembus ruang isi. Saya kira tidak hanya Gramci yang
               berpendapat  bahwa  memahami  sastra,  layak  mmasuk  ke  sekat-sekat  isi.  Yang  tidak
               cermat, salah berpolitik, adalah memaknai sastra yang berat sebelah.
                     Manakala  karya  sastra  itu  berisi  masalah  politik,  jika  sekedar  dikritik  dari  sisi
               bentuknya, akan runyam. Sastra hanya akan dipahami dari sisi kulit luar saja. Misalkan
               saja,  buku  kumpulan  puisi  esai  Atas  Nama  Cinta  adalah  sebuah  karya  yang  laik
               menjadi  obyek  analisis  dengan  menggunakan  pendekatan  bentuk  dan  isi  secara
               bersamaan. Lima puisi esai karya Denny J. A. ada di dalam buku tersebut. Format puisi
               esai  menjadi  pilihan  Denny  untuk  berkarya  dan  mengungkapkan  cinta  sekaligus
               kegelisahannya terhadap realitas sosial-politik yang kadang penuh diskriminasi. Format
               puisi esai dan kegelisahan terhadap diskriminasi itulah yang menjadi batu loncatan bagi
               penulis  untuk  “mengiris”  dan  “menusuk”  lebih  dalam  dengan  menggunakan  politik
               sastra politik sebagai pisaunya.
                     Politik sastra politik adalah untaian tiga kata yang ditawarkan oleh penulis untuk
               memasuki  dua  alam  analisis,  yaitu  alam  bentuk  dan  isi.  Politik  Sastra  Politik  bisa
               memiliki  dua  makna  sekaligus—hanya  dengan  melesapkan  dua  kata  politik  secara
               bergantian. Pelesapan pertama menghasilan politik sastra yang digunakan oleh penulis
               untuk menganalisis bentuk. Sedangkan pelesapan kedua memunculkan sastra politik,
               yang digunakan untuk mengurai substansi sebuah karya. Gagasan initampaknya lebih
               filosofis.  Menurut  hemat  saya,  gagasan  ini  tidak  terlalu  tepat,  kalau  politik  sastra  itu
   96   97   98   99   100   101   102   103   104   105   106