Page 105 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 105
pembaca, Teror mental pada pembaca merupakan aktivitas imajinatif sastrawan yang
patut dipegang teguh. Hanya sastrawan yang kaya terhadap politik sastra yang cepat
mampu menanggapi situasi bangsa. Dunia sastra jelas wilayah yang penuh politik.
Politik inilah yang dapat mengantarkan sastrawan mencapai kesuksesan. Mereka yang
menunggu dan duduk termangu akan ditinggalkan oleh sistem. Akhirnya mereka akan
tergilas oleh roda politik sastra itu sendiri.
Jadi, politik sastra itu sebuah ranah politik yang berkaitan dengan upaya
pengembangan sastra secara sistematik. Politik sastra juga berkaitan dengan proses
kepemimpinan, yang dilakukan oleh sastrawan, teknokrat sastra, birokrat sastra, dan
pembaca. Siapa saja boleh melakukan politik sastra, yang penting melewati koridor
yang sahdan dapat dipertanggungjawabkan. Fokus politik sastra adalah kemajuan
sastra di masa depan.
C. Politik Jangkrik dalam Sastra
Saya pernah membahas karya-karya R. Ng. Ranggawarsita pada seminar HIMA
Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FBS UNY (Endraswara, 2011) dengan pintalan-
pintalan benang politik. Ternyata, pujangga ini juga menorehkan karyanya ke dalam
ranah politik. Saya, bukan ahli “per-jangkrik-an”. Namun, saya dapat menikmati ketika
ada jangkrik ngengkrik. Jangkrik dianggap hewan yang kurang begitu jelas manfaatnya.
Biarpun ada juga orang yang memelihara jangkrik untuk diadu. Entah fenomena itu
sebagai orang kurang kerjaan, yang jelas jangkrik tetap menjadi bagian hidup ini. Sang
pujangga pun, menurut kacamata saya, masih bergerak di kalangan jangkrik.
Manifestasi politik dalam karyanya, seperti jangkrik saja.
Fokkema (1998:174) menyatakan bahwa sastra tidak sekedar berurusan dengan
teks. Sastra cenderung memuat relasi cultural dan historis. Sastra sering terkait dengan
hal ihwal ekstratektual. Oleh sebab itu, kalau say abaca karya pujangga agung R Ng
Ranggawarsita, banyak ekstratekstual yang jauh lebih menarik. Banyak orang
mengatakan R. NG. Ranggawarsita itu hebat. Dia ahli ramal, termasuk berpolitik. Bagi
saya, dia ya pengarang biasa. Hanya saja dia hidup di keraton, lalu ada gelar “raden”.
Kalau hanya gelar, tolok ukurnya, sekarang gelar di tempat Eyang Rangga sudah
“diobral”. Lalu, apa kelebihan dia itu? Menurut saya, biasa-biasa saja. Mengapa?
Karena, banyak ramalan dia di dalam Serat Sabda Pranawa yang belum terbukti.
Kata dia, “wong cilik bakal gumuyu”. Sungguh ironis ramalan ini, sebab dalam dunia
politik kita, wong cilik tidak lagi dapat tertawa. Yang terjadi, dengan berbagai “singgat”
dan uget-uget di berbagai lini pemerintah, justru membuat wong cilik jengkel. Marah.
Kalau saya, cenderung meramalkan “Wong cilik bakal lungguh dhingklik ongklak-
angklik, klambine lurik, wong gedhe klambine bathik, lungguh bale lera-lere.”
Pupuh Dhandhanggula Serat Sabda Pranawa berikut menandai bahwa ramalan
politik itu masih jauh dari realitas.
Ninggal maring pakarti tan yekti
Teteg nata ngastuti praentah
Tansah saregep ing gawe
Ngandhap lan luhur jumbuh
Boya ana cengil-cengil
Tut-runtut golong karsa
Sakehing tumuwuh