Page 108 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 108

menanggung  kekecewaan.  Terlebih  lagi,  kalau  sang    pujangga  sudah  dibuat  jengkel
               oleh situasi, keadaan politik, pisuhan pun sering muncul.
                     E tobil selikur ari
                     Dadi nora mantra mami
                     Pangan gawane priyangga
                     Tobil lole ngrasa aneh
                     Tanapi kang dadi sasar
                     Samangsa kurang yitna
                     Nalika drel obatipun
                     Kakehan wuluhe pecah
                     (Serat Jayengbaya, pada 209)

                     Alah tobil tobil nabi
                     Ah tobat sakabat papat
                     Pepet napasku nganti pet
                     Wis wis pirang bab kewala
                     Wilangane nggaota
                     Tanapi kang perlu lungguh
                     Meksa nganggo bebaya
                     (Serat Jayengbaya, pada 234)

                     E tobil jebule kongsi
                     Kedhaut-dhaut mangkana
                     lelabuhane wong kesed
                     luwih meneh tan sayogya
                     mondhok nganggo sungkanan
                     kaniaya aranipun
                     marang badane priyangga
                     (Serat Jayengbaya, pada 238)

                     Sungguh,  otak  kita  ini  kotor.  Yang  pertama,otak  kita  ini  dikotori  “uteg  urang”,
               sehingga tolol untuk berpikir jernih tentang politik. Orang berpikir politik selalu dihubung-
               hubungkan  dengan  kekuasaan.  Orang  berpikir  politik  ketika  menyimpan  kata  saya,
               diganti dengan kalimat pasif “di”.
                     Teodor  Geiger  (Geertz,  1992:7)  menyatakan  politik  dan  ideologi  itu  dekat,  sulit
               dipisahkan.  Ideologi  itu  sebuah  gagasan  atau  pemikiran.  Biarpun  pemikiran,  kalau
               dilandasi  realitas,  itulah  kecemerlangan.  R.  Ng.  Ranggawarsita,  adalah  seorang
               politikus  yang  mendasarkan  sebuah  realitas  itu,  sebuah  fakta  yang  dirasakan.  Kalau
               boleh  saya  ungkapkan:  “Itulah  yang  saya  rasakan  selama  ini.  Di  depan  mata  saya,
               politik  di  jagad  ini  sudah  bengkok.  Seperti  bengkoknya  sebuah  sabit,  siapa  yang
               mampu  meluruskan.  Kalau  sabit  itu  dibakar  sampai  merah,  mampukah  diluruskan
               dengan kehalusan tangan.” Begitulah intisari, Serat Kalatidha.
                     Di jaman yang serba tidak pasti, memang tidak mudah pengambilan keputusan.
               Padahal seorang pimpinan memang harus mengambil keputusan. Saya setuju dengan
               Geiger, yang memiliki pemikiran jitu. Katanya, pikiran yang ditentukan oleh fakta sosial
               dan  budaya,  bagaikan  arus  yang  jernih,  tembus  pandang.  Gagasan  itu  ada  kalanya
   103   104   105   106   107   108   109   110   111   112   113