Page 107 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 107

Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul,
                     kuntul diunekake dhandhang
                     Wong cilik mendelik wong gedhe gumedhe akeh godhane,
                     sing mlarat munggah pangkat
                     Keong lurik separan-paran
                     Pak cilik golek dalan
                     Pak gedhe bakal teka
                     Wong Jawa bakal cilaka
                     Wewe menek klapa
                     Ramalan di atas merupakan refleksi kepemimpinan di jaman wolak-walik. Jaman
               wolak-walik  memang  sudah  sering  muncul  setiap  ramalan.  Begitulah  politik  jangkrik
               genggong  yang  sedang  berkeliaran.  Di  jaman  ini,  orang  yang  bertindak  selingkuh
               seringkali  tetap  untung  (nggendhong).  Orang  yang  jujur  (lugu),  ternyata  malah
               mendapatkan  malu.  Inilah  potret  jaman  yang  serba  aneh,  yang  baik  dikatakan  jelek
               begitu sebaliknya. Di era semacam ini, kebenaran hidup semakin kabur.
                     Jaman yang serba wolak-walik memang terkena imbas politik jangkrik genggong.
               Jangkrik genggong senantiasa ada proses nglimpe. Nglimpe, adalah mengancam lewat
               diam-diam,  sehingga  mencari  kelemahan  orang  lain.  Nglimpe  juga  watak  pimpinan
               yang  mencari-cari,  sekedar  mencari  popularitas.  Biasanya  pimpinan  sering  ada  yang
               membunuh dari belakang. Mereka sembunyi, ternyata menikam dari belakang. Hanya
               orang yang waspada yang akan selamat menghadapi jangkrik genggong.

               D. Politik Misuh dalam Sastra
                     Di mata R. Ng. Ranggawarsita, kalau saya baca Serat Jayengbaya, hidup ini tidak
               ada kepastian. Hidup ini serba tidak enak. Untuk menjadi apa pun terasa sulit. Terjun ke
               dunia politik, ada resiko. Terjun di dunia seni, sebagai dalang, niyaga, penari topeng,
               ada untung rugi yang relatif. Bidanga ekonomi, tidak selalu menjanjikan. Menjadi blantik
               jaran, kalau sedang untuk, memang enak, tetapi kalau sedang rugi, jatuh menunggang
               kuda,lebih parah.
                     Sang  pujangga,  merasa  repot  menjadi  apa  pun  dalam  hidup  ini.  Yang  unik,  dia
               memanfaatkan  politik  misuh.  Kata  tobil  selalu  menjadi  ungkapan  yang  khas.
               Kekhawatiran  hidup  selalu  menyelimuti  tiap  orang,  birapun  telah  memiliki  kdudukan
               politik. Bahkan ada kata yang lebih kasar lagi untuk misuh, yaitu pothet dan pethut. Hal
               itu  sebenarnya  merupakan  ungkapan  kejengkelan.  Menurut  dia,  permainan  politik
               memang cukup kejam.
                     Tobil muktiku kepati
                     Sasat setan sri serabat
                     Nanging ya ana watire
                     Yen ketanggor bekel desa
                     Gedhug gedhig manggala
                     Galak marang goprak gapruk
                     Dhasar pothet pethut desa
                     (Serat Jayengbaya, pada 60)

                     Yang dimasalahkan pujangga dalam hidup ini amat beragam. Intinya, bahwa hidup
               ini memang selalu penuh dengan setumpuk kekecewaan. Berani hidup, berarti berani
   102   103   104   105   106   107   108   109   110   111   112