Page 106 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 106

Wantune wus katarbuka
                     Tyase wong sapraja kabeh mung harjanti
                     Titi mring reh utama
                     Kalau saya cermati, perilaku bangsa ini jauh dari ramalan R. Ng. Ranggawarsita.
               Politik  kita  masih  bergerak  pada  “politik  jangkrik”.  Nyaring  di  sebelah  sana,  padahal
               fenomena  sesungguhnya  tak  nyaman.  Oleh  pujangga  besar  yang  dipuja-puja  ini,
               bangsa  ini  akan  “ninggal  pakarti  tan  jekti”,  artinya  meninggalkan  perbuatan  jelek.
               Ternyata, di tengah perjalanan politik bangsa ini, justru berkebalikan dengan ramalan.
               Kalau  saya  perhatikan,  politik  kampus  pun  semakin  tajam.  Dengan  lagak  meniru
               menteri, pemilihan pejabat memiliki suara 35%, mengesampingkan pilihan mahasiswa,
               Kalau begitu, bagaimana mungkin ramalan politik tentang ngandhap lan luhur jumbuh,
               hanyalah isapan jempol.
                     Yang mungkin terjadi, atas bawah selalu ada jarak. Kerenggangan sosial, selalu
               menjadi  pemicu  ketidakpuasan  bangsa  ini.  Orang  bawah  yang  memilih  wakil  (DPR),
               ternyata  sudah  didorong  oleh  material.  Konsep  “harjanti”,  berarti  sulit  ditemukan  di
               tengah perjalanan politik bangsa, dari “dunia kecil” (kampus) sampai ke “dunia besar”
               (negara). Bagaimana mungkin mau “harjanti”, kalau membuat skripsi “diatur-atur”, tanpa
               kebebasan.  Semua  diatur-atur  oleh  orang  yang  kurang  begitu  paham.  Pernah  saya
               membimbing  mahasiswa,  gunakan  kata  “saya”  dalam  skripsi,  mengapa  tidak.  Ketika
               akan diuji, calon penguji sudah komentar sinis.

                     Maratani mring saindenging bumi
                     Kehing para manggalaning praja
                     Nora kewran nandukake
                     Pakarti agal lembut
                     Pulih kadi duk jaman nguni
                     Tyase wong sanagara
                     Teteg teguh-teguh
                     Tanggon sabarang sinedya
                     Datan pisan ngucira ing lair batin
                     Kang kesthi mung reh tama
                     Sungguh  ironis.  Semua  ramalan  pada  tembang  di  atas,  banyak  yang
               berseberangan  dengan  fenomena  sesungguhnya.  Betulkan  kini  yang  memegang
               kekuasaan  “teteg  teguh”?  Saya  kira,  hal  itu  hanya  ada  dalam  dunia  dongeng  dan
               wayang.  Kalau  saya  saksikan,  politik  kita  belum  sejalan  dengan  bayangan  sang
               pujangga.  Politik  kita  masih  sebatas  politik  “jangkrik  genggong”.  Sungguh  celaka,  oh
               politik!
                     Di  bawah  ini  banyak  ramalan  politik  lepas,  yang  saya  duga  hasil  pemikiran  R.
               Ngabehi Ranggawarsita. Mungkin, ada baiknya perlu direnungkan, agar kita paham apa
               yang sebenarnya terjadi, telah, dan mungkin terjadi.
                     Serong nggendhong,
                     lugu keblenggu
                     Ngangkrang ngrangsang gunung Mrapi
                     Apik ditampik ala diuja
                     Ela-elo wong Jawa kari separo,
                     Landa kari sajodho Cinane gela-gelo
   101   102   103   104   105   106   107   108   109   110   111