Page 111 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 111
BAB XI
KEPEMIMPINAN JAWA DALAM WAYANG
A. Wayang sebagai Potret Ajaran Kepemimpinan
Wayang merupakan pancaran ajaran kepemimpinan Jawa. Di dalam pertunjukan
wayang, sering melukiskan satuan moral dan identitas sosial. Kesadaran antara yang
memimpin dan dipimpin diolah dan dikreasi oleh penghayatan dalang. Dalang yang
mampu member ruh tindakan wayang sebagai pimpinan yang tegas, klemak-klemek,
dan bijaksana. Biasanya, seorang dalam hendak menanamkan ideologi kepemimpinan
lewat tokoh, antawecana, suluk, banyolan, dan lain-lain.
Jatman (1997:25) menyatakan bahwa wayang adalah gambaran simbolik ketika
orang Jawa mencari makna kehidupan. Lakon-lakon wayang melukiskan bagiamana
hidup ini dijalankan. Wayang adalah gambaran hidup manusia. Hidup manusia penuh
dengan ideologi. Pertunjukan wayang selalu merujuk pada komunitas orang yang
memimpin dan dipimpin. Berbagai tokoh wayang merepresentasikan pribadi seorang
pemimpin bangsa. Tidak hanya tokoh yang menjadi raja, melainkan sebagai prajurit,
pendeta, punakawan, satria, dan sebagainya adalah pimpinan. Masing-masing tokoh
memiliki wajah, cara bicara, cara berjalan, dan sejumlah tindakan kepemimpinan.
Mulder (2001:83) menyatakan bahwa dalam kehidupan orang Jawa selalu ada
stratata. Orang yang dihormati, dalam wayang pun dijadikan acuan pimpinan. Biasanya
tokoh pendeta, resi, raja, Begawan adalah figur sesepuh yang dalam ideologi Jawa
harus dihormati (disubya-subya). Mereka itu oleh orang Jawa disebut pepundhen.
Apabila para bawahan berani menentang, secara ajarans bawahan dianggap dosa
(duraka), bahkan suatu saat akan mendapatkan kutuk (kuwalat). Atas dasar ideologi
semacam ini, penghormatan dalam wayang selalu diwujudkan pada saat bertemu
dalam pakeliran satu sama lain melakukan sembah. Semabha menandai ideologi
antara atasan dan bawahan memiliki hirarkhi.
Antara prabu Baladewa dan prabu Kresna yang sama-sama saudara sekandung,
memiliki kekhasan dalam memimpin negaranya. Keduanya kadang menunjukkan figur
kepemimpinan yang bertolak belakang, yang satu keras dan mudah marah (kodo), yang
satunya lagi lebih bijak. Temperamen setiap tokoh wayang hampir selalu berkaitan
dengan wajah mereka. Wajah menjadi acuan ki dalang dalam memainkan wayang,
ketika tokoh harus mengambil keputusan.
Dalam filsafat jawa nilai dasar ontologis kehidupan diejawantahkan di dalam
bentuk seni wayang. Maka dalam wayang akan menunjukkan ciri-ciri dasar filsafat jawa
di dalam pergelarannya, sehingga dasar ontologis bagi wayang adalah usaha untuk
mencapai kesempurnaan atau kasunyatan. Kesempurnaan atau kasunyatan itu tidak
saja harus bersifat rasional dan empiris tetapi juga harus mengandung unsur rasa yang
menjadi ciri khasnya. Dengan demikian, wayang akhirnya dikontekskan dengan rasa
dalam kehidupan nyata manusia
Jika kita menonton wayang purwa, baik yang dipagelarkan semalam suntuk
maupun yang dipergelarkan dalam bentuk pakeliran padat, maka jika direnungkan
benar-benar didalamnya terkandung banyak nilai serta ajaran-ajaran kepemimpinan
yang sangat berguna. Semua yang ditampilkan baik berupa tokoh dan yang berupa
medium yang lain di dalamnya banyak mengandung nilai dan filosafi kkepemimpinan.
Filosofi kepemimpinan dalam wayang disampaikan secara simbolik dalam berbagai