Page 115 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 115
Pertunjukan wayang kulit, memang cocok bagi seorang calon lurah, menjadi
wahana kampanye estetis. Dalam pertunjukan yang mengajak para warga beraspirasi
itu, konon memang amat mujarap diformat lewat pertunjukan wayang. Wayang
memang penuh tokoh kepemimpinan sehingga tepat dijadikan wahana promosi. Dalam
pertunjukan wayang, wacana kepemimpinan bisa dijumpai pada awal pertunjukan, yaitu
pada adegan jejer pembukaan yang menampilkan seorang raja, para punggawa
pemerintahannya, serta kerabatnya. Tenru saja hal ini banyak terjadi pada wayang
yang masih taat pada pakem. Pertunjukan wayang modern, seringkali sudah tidak
begitu mengikuti proses pertunjukan tradisi.
Dalam adegan jejer ini nilai-nilai tentang kepemimpinan sering dibicarakan,
terkadang oleh seorang raja yang dianggap bijaksana, terkadang oleh pendeta yang
dianggap mumpuni, atau oleh dewa yang turun dari kahyangan. Setiap adegan selalu
ada pembicaraan tentang kepemimpinan. Kualitas kepemimpinan seorang raja juga
diungkapkan dalam janturan jejer pembukaan ketika dalang memberikan deskripsi
tentang negara dan raja yang diperkenalkan dalam pertunjukan. Dalam pertunjukan
tertentu, wacana kepemimpinan bisa muncul sepanjang pertunjukan, terutama jika
lakon yang diangkat menyangkut perebutan kekuasaan atau wahyu yang bisa
memperkuat kualitas kepemimpinan tokoh tertentu agar bisa mempertahankan
kekuasaannya. Jejer pembukaan biasanya memberikan deskripsi tentang kualitas
kepemimpinan seorang raja. Yang sering disebut dalang adalah menyanjung seorang
pimpinan dan kondisi negara. Konsep tata titi tentrem kerta raharja, menandai keadaan
bangsa aman tenteram. Hal ini menandai bahwa pemimpin bangsa sedang jaya,
sukses, dan tanpa ada kritik sedikit pun. Pimpinan negara dianggap mampu
menyelesaikan segala keinginan rakyat.
Dalam jejer ini tergelar suatu negara yang dipimpin oleh seorang raja sebagai
salah satu dari tokoh utama dalam lakon yang dipertunjukkan. Raja, sebagai pusat
kekuasaan dalam dunia wayang, digambarkan dengan kualitas-kualitas kepemimpinan
yang merupakan nilai-nilai kepemimpinan Jawa. Yang sering aneh, adegan
Ngalengkadiraja, biarpun rajanya pendukung angkara murka budi candhala, artinya
pendukung hal-hal yang tidak baik, dalang sering menyatakan panjang punjung pasir
wukir loh jinawi. Konsep lohjinawi, adalah suasana kepemimpinan yang dianggap
sukses, karena mampu mensejahterakan masyarakat. Konteks wayang kulit Jawa
seperti tergambar dalam lakon-lakon Rabina Bambang Irawan, Cahyo Piningit, Adege
Kutho Cempolorejo dan Narasoma Krama, jelas melukiskan praktik kepemimpinan.
Lakon wayang tidak harus berkisah tentang berdirinya suatu negara, yang
menyuarakan kepemimpinan. Kepemimpinan selalu hadir dalam konteks lakon apa
saja, seperti lakon wahyu, pernikahan, perebutan negara, dan sebagainya.
Menurut penelitian Basuki (2010) dalam lakon Rabine Bambang Irawan yang
mengisahkan pernikahan bangsawan dalam wayang yang sebenarnya tidak banyak
berhubungan dengan dunia politik dan kekuasaan. Tetapi sebagai cerita kaum
penguasa, cerita wayang selalu mengandung hal-hal yang mempunyai relasi dengan
kekuasaan dan kepemimpinan. Lakon ini dimulai dengan jejer negara Dwarawati,
kerajaan yang dipimpin oleh Kresna. Dalam janturan Kresna disebut sebagai Sri
Narendra Bethara Kresna atau Raja Agung Bethara Kresna. Kresna mendapat gelar
Bethara karena ia adalah titisan dewa Wisnu. Sebagai raja agung, Kresna digambarkan
sebagai berikut: