Page 117 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 117

dinten  mbenjang.  Dalu  menika  jangga  kula  sampun  sumanglung,  kaka
                              prabu . . . (CD. 1)
                       [UDAWA.  Apakah  paduka  hendak  mengukum  mati  hamba  patih  Udawa.  Jika
                              paduka  ingin menghukum mati  hamba,  tidak  perlu menunggu  hari esok.
                              Malam ini leher hamba sudah siap, kaka prabu . . .] (CD. 1)
               Ucapan Udawa adalah bukti kesetiaannya terhadap raja, dengan menyerahkan hidup
               matinya jika ia melakukan kesalahan meski pun ia belum tahu kesalahannya.   Seorang
               patih pun ternyata hidup matinya ada di tangan raja, karena dalam dunia wayang raja
               adalah pemilik negara dan segala isinya, termasuk manusianya.
                       Oleh  tokoh  lain,  janda  Kadarsih,  Kresna  juga  disebut  sebagai  “ratu  gung
               binathara”  (CD  bag.  1)  ketika  tanpa  ia  sangka  lamarannya  diterima.    Raja  gung
               binathara berarti “. . . raja besar seperti dewa. Raja yang memiliki pribadi agung, suci
               berwibawa,  bijaksana,  menjaga  keadilan  dan  menegakkan  hukum  dianggap  sebagai
               wakil  Tuhan  di  bumi”  (Khakim,  200785).  Dalam  janturan  gaya  ‘kulonan’,  frasa  “gung
               binathara” sering ditambah dengan frasa “bau dhendha nyakrawati” [pemelihara hukum
               dan  penguasa  dunia]  (Moedjanto,  1987:  77-78).  Ini  menunjukkan  bahwa  raja
               mempunyai  kekuasaan  yang  sangat  besar  karena  ia  adalah  wakil  Tuhan  di  bumi.
               Sebagai  wakil  Tuhan  di  bumi,  ia  harus  adil  dan  bijaksana  sehingga  “kawula”  atau
               rakyatnya  dengan  sukarela  tunduk  kepadanya.    Lebih  jauh,  ketika  Baladewa  datang
               dan meminta Kresna membatalkan lamaran janda Kadarsih dari desa Andong Sinawi,
               Kresna tidak bersedia karena ia harus menjaga “Sabda pandhita ratu, sepisan kedah
               dados, mboten kenging wola-wali” (CD bag. 1) yang berari “sabda pendeta raja, sekali
               harus  jadi,  tidak  bisa  berubah  kembali”.  Ini  menunjukkan  bahwa  Kresna  adalah  raja
               yang menepati ucapannya, karena taruhannya adalah wibawanya sebagai raja. “Kalau
               sampai seorang raja atau pendeta tidak menepati apa yang diucapkan, dijanjikan atau
               dikaulkan, maka lebih baiklah baginya untuk mengundurkan diri” (ibid, 148). Raja yang
               menjilat lagi ludahnya adalah raja yang kehilangan sifat “gung binathara” dan tidak lagi
               memiliki “sabda pandhita ratu”.
                       Jejer pembuka Cahyo piningit, Adege Kutho Cempoloreja dan Narasoma Krama
               kurang  lebih  sama  dengan  jejer  pembuka  dalam  Rabine  Bambang  Irawan  karena
               sama-sama  menggunakan  jejer  pakem  umum  Jawa  Timuran.  Janturan  jejer
               pembukaan  yang    diucapkan  dalam  Cahyo  Piningit,  Adege  Kutho  Cempolorejo  dan
               Narasoma  Krama  kurang  lebih  sama    dengan  janturan  pembukaan  pada  Rabine
               Bambang  Irawan  dengan    beberapa  perbedaan  kecil.  Prabu  Pandu  Dewanata  dan
               Logasmo juga sama-sama disebut “mencorong tejane”  sebagai raja yang mempunyai
               wibawa  dan  kharisma.  Juga  disebutkan  bagaimana  mereka  yang  hadir  dalam
               pasewakan agung diibaratkan “peksi perjangga lelana” dengan deskripsi yang kurang
               lebih sama. Bahkan seperti patih Udawa yang menyerahkan hidup mati kepada Kresna
               dalam Rabine Bambang Irawan, patih Permono Kusumo dari negara Banciangin juga
               menyerahkan hidup mati kepada  Logasmo dalam Adege Kutho Cempoloreja.  Ini bisa
               dipahami  karena  keempat  dalang  dalam  teks-teks  pertunjukan  di  atas  menggunakan
               janturan  standar wayang  kulit  Jawa  Timuran.    Dalam  janturan  tersebut,  raja,  sebagai
               seorang  pemimpin,  digambarkan  sebagai  pemimpin  yang  memiliki  ‘teja’  (sinar)  yang
               membuatnya berwibawa dan memiliki kharisma. Kemudian, raja digambarkan memiliki
               sifat  “gung  binathara”  dan    menepati  “sabda  pandita  ratu”.  Dalam  Narasoma  Krama,
               Mandrapati  juga  disebut  sebagai  raja  yang  “berbudi  bawa  leksana”  yang  berarti  raja
   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122