Page 116 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 116

Sri  Narendra  Bethara  Kresna  .  .  .    Lenggah  wonten  pasewakan  agung
                       mencorong  tejane  pindha  dewane,  Bethara  Wisnu  ingkang  ngejawantah  .  .  .
                       (CD. 1)
                       [Raja Agung Bethara Kresna  . . . Duduk di pertemuan agung berkilau sinarnya
                       seperti dewanya, Bethara Wisnu yang turun dari kahyangan . . .] (CD. 1)
                     Dalam  dunia  wayang,  Kresna  adalah  inkarnasi  dari  dewa  Wisnu,  sehingga
               memiliki wibawa dan kesaktian yang luar biasa. Wibawa tersebut juga menggambarkan
               besarnya kekuasaan raja. Raja adalah pusat kekuasaan, dan semakin besar sinarnya,
               semakin  besar  pengaruhnya.  Mengenai  hal  ini,  Anderson  (1990:  76-77)  menuliskan
               sebagai berikut:
                       Gambaran  yang  paling  tepat  bagi  tata  pemerintahan  Jawa,  barangkali,  adalah
                       suatu kerucut cahaya yang disorotkan ke bawah oleh suatu lampu pemantul . . . .
                       pancaran cahaya lampu yang berangsur-angsur menyurut dan bahkan memudar
                       seiring  dengan  meningkatnya  jarak  dari  bola  lampu  adalah  kiasan  yang  tepat
                       bagi konsepsi Jawa bukan hanya tentang struktur negara tetapi juga hubungan
                       pusat pinggiran dan kedaulatan teritorial.
                     Tata  pemerintahan  dalam  dunia  wayang  adalah  refleksi  dari  tata  pemerintahan
               Jawa, karena wayang tumbuh saling mempengaruhi dengan perkembangan kekuasaan
               Jawa.    Raja  yang  bersinar  terang  adalah  raja  yang  besar  wibawanya  dan  luas
               jangkauan kekuasaannya. Sebagai cerita klasik dengan tokoh-tokoh  kaum bangsawan,
               tentu saja nilai kepemimpinan dalam wayang bersifat feodal. Sebagai produk budaya
               feodal,  sifat-sifat  luhur  dalam  tokoh pewayangan  adalah  contoh bagi kaum  pemimpin
               yang  berpusat  kepada  raja.  Di  jaman  kerajaan,  wayang  adalah  produk  budaya  yang
               efektif untuk pencitraan seorang raja sebagai pemimpin yang agung dan berwibawa.
                     Dalam Rabine Bambang Irawan wibawa raja digambarkan dengan kehadiran para
               pejabat negara sebagai berikut:
                       .  .  .  sowaning  para  wadya  bala  yen  cinandra  pindha  peksi  perjangga  lelana
                       candrane.  Peksi manuk, perjangga glatik, lelana alap-alap, pindha manuk glatik
                       sinamber  alap-alap,  pating  jepiping    sowaning  para  wadya  bala  ajrih  nampi
                       dhawuh pangandikaning Sri Nalendra Bethara Kresna . . . CD. 1)

                       [. . . hadirnya para pejabat negara jika diibaratkan seperti peksi perjangga lelana.
                       Peksi  berarti  burung,  perjangga  gelatik,  lelana  elang,  seperti  manuk  gelatik
                       disambar elang, para pejabat diam tertunduk takut menerima titah Sri Nalendra
                       Bethara Kresna . . .] (CD. 1)
                     Seperti  yang  terdengar  dalam  narasi  yang  disampaikan  oleh  dalang  dalam
               janturan  di  atas,  wibawa  raja  membuat  siapa  pun  yang  hadir  terdiam,  bahkan  takut,
               yang diibaratkan seperti burung gelatik yang diam tak bergerak karena takut disambar
               elang.  Berhadapan  dengan  seorang  raja,  kawula  harus  “tumungkul”    atau  “tunduk-
               merunduk  di  hadapan  raja”  (Moedjanto,  1987:  78)  karena  takut.    Ini  menunjukkan
               bahwa  raja  adalah  penguasa  tunggal  yang  berhak  menentukan  segalanya  bagi
               kerajaannya.  Raja  bahkan  memiliki  nyawa  siapa  pun  di  bawah  kekuasaannya,  yang
               bisa dilihat dalam dialog antara patih Udawa dengan Kresna:
                       UDAWA. Menapa paduka badhe ngukum dosa pejah dumateng abdi dalem patih
                              Udawa.  Menawi  paduka  badhe  ngukum  dosa  pejah,  sampun  ngentosi
   111   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121