Page 112 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 112

lakon, misalnya Sembadra Ratu, Gatutkaca Ratu, Ontosena Ratu, Baging Ratu, Wahyu
               Cakraningrat, dan sebagainya.
                     Secara  gampang,  bila  diperhatikan  simpingan  wayang,  maka  telah  terbentuk
               falsafah  simbolik  kepemimpinan  Jawa.  Simpingan  kanan  melambangkan  seorang
               pimpinan  yang  baik,  simpingan  kiri melambangkan  tokoh  yang  jelek  atau  buruk.  Jika
               simpingan  tidak  salah,  berarti  tokoh  di  sebelah  kanan  dalang,  andaikata  dimainkan
               sebagai  pimpinan  adalah  tokoh  yang  berkepribadian  pemimpin  yang  lurus.  Adapun
               tokoh di sebelah kiri, biasanya berwajah merah, pendukung pimpinan yang belok-belok,
               korupsi, nepotisme, dan segala wujud diktator. Demikian halnya jika melihat perangnya
               wayang,  maka  wayang  yang  diletakkan  atau  diperangkan  dengan  tangan  kiri  sering
               mengalami  kekalahan.  Tetapi  hal  ini  tidak  semua  benar.  Seringkali  dalam  alam
               kasunyatan  justru  bangsa  atau  orang  yang  buruk/jahat,  bodoh, banyak  uang,  banyak
               dukungan,  seringkali mendapatkan ‘kemenangan’.
                     Yang menjadi masalah, adalah tokoh yang tidak disimping, berada dalam kotak.
               Tokoh dalam kotak disebut tertidur (sumare), suatu saat akan dimainkan pula oleh ki
               dalang.  Umumnya,  tokoh  wayang  dalam  kotak  hanya  sebagai anggota,  bala  dhupak,
               dan rakyat kecil. Dari sisi hakikat, antara wayang yang disimping di kanan dan kiri pada
               akhirnya juga akan masuk kotak. Maksudnya, baik pemimpin maupun yang dipimpin,
               akhirnya juga akan menuju  sangkan paran. Semua tokoh wayang akan menjadi satu
               dalam sebuah kota.
                     Wayang  adalah  sumber  ajaran  kepemimpinan  Jawa.  Dunia  wayang  banyak
               menawarkan  pilihan  hidup.  Konfrontasi  selalu  ada  dalam  wayang,  begitu  pula  dalam
               kehidupan sehari-hari. Manusia Jawa selalu hidup dalam segmen konfrontasi. Namun
               ada  yang  mampu  mengelola  konfrontasi,  hingga  tidak  meledak  menjadi  sebuah
               peperangan. Jika dalam wayang sering ada peperangan, misalkan antara Pandawa dan
               Kurawa,  karena  ajaran  kepemimpinan  yang  hendak  ditanamkan  bercampur  dengan
               pendukung baik dan buruk. Ajaran hitam putih, benar salah, selalu ada dalam wayang.
               Jarang wayang yang menunjukkan prilaku abu-abu.

               B. Pertunjukan Ruwatan Pemimpin
                     Pertunjukan  wayang  kulit  adalah  potret  kepemimpinan  bangsa.  Murtono
               (1986:162) menjelaskan bahwa pertunjukan wayang sekaligus sebagai wahana menuju
               atau mencari sampurnaning pati. Dalam lakon Dewa Ruci, tokoh Bratasena merupakan
               tauladan seorang pimpinan yang mencari kesempurnaan hidup. Pimpinan tidak sekedar
               berpikir  sesaat,  melainkan  memikirkan  hidup  masa  depan  (di  akherat).  Bratasena
               mampu  meruwat  diri,  melalui  laku  perihatin  yang  amat  panjang.  Tokoh  ini  sengaja
               melakukan ruwat, agar tahu siapa dirinya ketika menjadi pimpinan.
                     Memang  harus  diakui  bahwa  nuansa  kepemimpinan  selalu  ditentukan  oleh
               kepiawaian dalang. Dalam studi kasus pak Suprapto, seorang penghayat kepercayaan
               ketika  menjadi  dalang  tentu  nuansa  kejawen  amat  kental  (Cederroth,  2001:214).
               Kejawen  merupakan  inti  kebatinan  Jawa.  Maka  dalang  yang  menghayati  kebatinan,
               apabila  mendalang  juga  akan  menyemaikan  konsep  kepemimpinan  ala  kejawen.  Dia
               seorang pengikut paguyuban Jendro Hayuningrat Widodo Tunggal di Malang. Wayang
               dia  jadikan  acuan  untuk  menyebarkan  ajaran  kejawen.  Dia  memimpin  paguyuban
               sekaligus  sebagai  dalang.  Jadi  pimpinan  apa  pun  kalau  sudah  menghayati  wayang,
   107   108   109   110   111   112   113   114   115   116   117