Page 114 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 114
Biasanya, lakon yang terkait dengan wahyu mengenal model nitis (penjilmaan).
Nuansa Hindu memang terasa dalam konsep wayu. Lakon seperti Wahyu
Makutharama, Wahyu Panca Purba, dan lain-lain merupakan bentuk perwujudan
anugerah kepemimpinan. Kepemimpinan Jawa jelas tidak hanya diperoleh secara
lahiriah, melainkan berasal dari sebuah laku perihatin. Untuk mendapatkan wahyu,
selain ada unsur pulung (kabegjan) juga laku perihatin yang dibutuhkan. Untuk
mendapatkan wahyu, seorang tokoh wajib melakukan gerakan spiritual.
Pemimpin bangsa dapat meneladani aneka jenis ruwatan, sebagai upaya spiritual
pembersihan diri. Menurut Rusdy (2012:19-32) ada tiga jenis ruwatan penting dalam
masyarakat Jawa, yaitu (1) ruwatan murwakala, yaitu untuk pembersihan diri dari
kotoran, (2) ruwatan sudamala, yaitu ruwatan yang berguna untuk melepaskan diri dari
rasa bersalah, pasrah, dan berserah diri.Biasanya ruwatan ini juga dilakukan di Bali
dalam tari-tarian ritual, dan (3) ruwatan makukuhan, artinya ruwatan untuk pembersihan
tempat (pekarangan), misalnya ada ruwat bumi.
Ruwatan murwakala tampaknya yang paling tepat untuk meruwat para pimpinan
yang kotor. Ruwatan ini, sebagai ibarat seorang pimpinan yang dililit perbuatan bathara
Kala. Dia sedang lupa diri, lupa mengelola waktu (kala), sehingga menjadi mangsane
bathara Kala. Dia jatuh ke lubang hitam, karena tergoda oleh nafsu. Oleh sebab itu,
dalam dunia kebatinan Jawa orang tersebut harus diruwat. Tatacara meruwat menurut
para penganut kebatinan amat beragam. Penganut kebatinan Sumarah Purbo, di
Pandak Wijirejo Bantul dan paguyuban Trisoka di Parangtritis, memiliki tradisi tersendiri
dalam ruwatan. Umumnya, ruwatan kebatinan Jawa tetap menggunakan wayang
sebagai wahana ruwat.
C. Gambaran Suasana Kepemimpinan Adil Makmur
Kepemimpinan adil dan makmur adalah keinginan semua rakyat. Wayang
merupakan gambaran kepemimpinan yang bercorak adil makmur. Sejauh saya sering
menonton wayang sejak kecil, sudah terpikir bahwa ada watak-watak pemimpin yang
keras dalam sebuah pertunjukan. Sambil membeli kacang dan makan di bawah pohon
jeruk, memang enak menonton wayang. Bahkan pertunjukan di waktu malam pun juga
menarik minat saya untuk memperhatikan, aneka hal yang hendak ditanamkan oleh
dalang lewat wayang. Orang-orang di desa saya, Prangkokan, Purwosari, Girimulyo,
hampir setiap waktu ada wayang, terkait dengan berbagai peringatan hari-hari besar,
ritual manten, ritual supitan, dan pencalonan lurah.
Wayang bagi masyarakat desa merupakan gambaran suasana kepemimpinan.
Suasana kepemimpinan yang damai, tentu menjadi harapan semua pihak. Sutardjo
(2006:87) menegaskan bahwa wayang itu sebuah gambaran nilai kehidupan yang
tinggi. Di antara nilai yang sangat diharapkan adalah keadilan dan kemakmuran. Adil
berarti tata kepemimpinan yang merata, tidak membeda-bedakan, dan tepat sasaran.
Misalnya pembagian sembago dan BLSM tunai sebagai akibat dari kenaikan BBM
mulai Juni 2013, di Kulon Progo dan beberapa tempat lain sudah memunculkan
masalah sosial baru. Kecemburuan sosial selalu munncul dalam pembagian apa saja.
Hal ini menjadi potret ketidakadilan, serta ketidakmakmuran masyarakat. Yang baik
tentu saja keadaan masyarakat itu adil dalam kemakmuran dan makmur dalam
keadilan.