Page 102 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 102
hanya melihat bentuk dan sastra politik hanya melihat isi. Bentuk pun membutuhkan
sastra politik dan isi pun membutuhkan politik sastra. Kedua hal itu sebenarnya sulit
dilepaskan satu sama lain.
Katrin Bandel, seorang doktor kelahiran Jerman yang menekuni sastra Indonesia,
pernah mengulas politik sastra melalui analisis tentang kecenderungan pola pikir
masyarakat mengenai sastra, perempuan, dan seks. Ia menekankan, kebiasaan publik
yang secara otomatis menganggap sejumlah sastrawan perempuan selalu mengumbar
soal seks merupakan salah satu periode politik sastra di Indonesia. Gagasan ini pun
juga amat nisbi, karena penulis laki-laki pun yang mengumbar seks juga tidak sedikit.
Menrut hemat saya, konsep mengumbar seks merupakan politik sastra dari sisi bentuk
dan sekaligus isi. Pembaca telah dibidik organ kesenangannya lewat seks. Seks itu
milik siapa saja, hingga menyentuk politik sastra, agar karya yang dihasilkan banyak
dibaca orang. Karya sastra yang penuh bumbu seks, biasanya aromanya manis dan
banyak dilirik pembaca.
Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia online mengartikan politik sebagai
kebijakan. Dalam bidang kebahasaaan, KBBI menyamakan politik dengan ketentuan
yang bisa dijadikan rujukan untuk menyelesaikan masalah kebahasaan . Merujuk
kepada sederet pengertian itu, penulis memberanikan diri untuk menawarkan salah
satu makna politik sastra, yaitu semacam kesepahaman tentang hal-hal terkait dengan
sastra. Jika pembicaraan diperuncing menjadi pembahasan tentang bentuk karya
sastra, maka politik sastra bisa dimaknai sebagai kesepahaman tentang bentuk-bentuk
karya sastra.
Prosa dan puisi atau sajak jelas adalah bentuk-bentuk karya sastra. Selama
puluhan tahun, masyarakat meyakini bahwa masing-masing bentuk sastra itu memiliki
ciri-ciri yang khas. Puisi, misalnya, pernah diyakini sebagai karangan yang terikiat oleh
baris dan bait, oleh irama dan rima, dan oleh jumlah kata dan suku kata (Atmazaki,
1993). Pakar yang lain, Jakob Sumardjo mengartikan puisi sebagai bentuk pengucapan
sastra dengan bahasa yang istimewa, bukan bahasa biasa. Prinsip puisi adalah berkata
sedikit mungkin, tetapi mempunyai arti sebanyak mungkin.
Sapu Tangan Fang Yin adalah salah satu karya Denny J. A. dalam buku Atas
Nama Cinta. Oleh pengarangnya, Sapu Tangan Fang Yin—dan empat karya lain di
dalam buku itu—disebut dengan istilah puisi esai. Sapu Tangan Fang Yin bercerita
tentang permenungan seorang perempuan yang menjadi korban pemerkosaan pada
pertengahan Mei 1998. Dari segi bentuk, karya itu terdiri dari 13 bagian. Masing-masing
bagian terdiri dari sejumlah bait. Dan setiap bait terdiri dari sejumlah baris. Sampai di
sini, puisi esai itu nampaknya padu dengan politik puisi yang pernah berkembang pada
masanya. Namun, setelah mengamati lebih rinci, karya ini menembus garis batas
”kepatutan” sebuah puisi. Ia menggunakan bahasa yang lugas dan tidak mengumbar
metafora; ia tidak terpaku pada jumlah dan keserasian kata, suku kata, rima, dan irama;
ia seakan tak berpola.
Karya itu seakan mendobrak kebuntuan berekspresi yang disebabkan oleh
“kesepakatan” angkatan sebelumnya. Dobrakan serupa sebenarnya sudah dilakukan
oleh angkatan 45 dan penganut paham puisi modern. Mereka bercerita secara lebih
lugas dan kadang terlepas dari estetika bentuk sebuah puisi. Namun, sesuatu yang
mucul dalam Sapu Tangan Fang Yin adalah fenomena yang berbeda. Ia memang
melepas belenggu. Akan tetapi—pada saat yang sama—ia mengawinkan konsep