Page 97 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 97

BAB X
               POLITIK DAN ESTETIKA KEPEMIMPINAN JAWA

               A. Sastra dan Estetika Politik
                     Dalam  bab  II  buku  Kepemimpinan  dalam  Sastra,  yang  diterbitkan  Dinas
               Kebudayaan  DIY,  Endraswara  dan  Santosa  (2012:17-30)  mengemukakan  panjang
               lebar  keterkaitan  kepemimpinan,  kekuasaan,  politik,  dan  sastra.  Bagian  sub  bab  ini
               sungguh  penting  dipertimbangkan,  sebab  ternyata  kepemimpinan  Jawa  itu  butuh
               estetika. Di antara estetika yang unik adalah sastra. Sastra adalah dunia symbol estetis.
               Sastra dan politik adalah dua hal yang sering bersentuhan. Gramsci (Anwar, 2010:76-
               78) termasuk tokoh penting yang mencoba menghubungkan antara sastra dan politik.
               Hubungan  keduanya  menandai  hadirnya  sebuah  kepemimpinan  dalam  ranah  sastra.
               Menurut  dia,nilai  estetika  sastra  tergantung  keindahan  karya.  Karya  yang  bagus,
               bernuansa  politik,  sekaligus  menjadi  wahana  gairah  estetik  dan  mencerdaskan
               intelektual.
                     Sastra  sering  menjadi  kendaraan  politik,  guna  meneguhkan  kekuasaan.  Oleh
               sebab itu, dalam membaca sastra, patut menggunakan sikap cermat. Contohnya, saya
               sangat  selektif  soal  membaca  karya  sastra  yang  berbau  politik.  Sastra  semacam  ini
               disebut  sastra  politik.  Karya  ini  yang  akan  merefleksikan  pandangan  politik,  yaitu
               sebuah pencarian kekuasaan. Oleh sebab itu, dalam menghadapi sastra politik bukan
               selektif  yang  menyaring  kemanfaatan  buku  secara  objektif,  tapi  benar-benar  selektif.
               Sastra  sering  disisipi  permasalahan  politik.  Bnayak  buku  yang  menungkan  gagasan
               bahwa sastra dan estetika politik selalu berkaitan.
                     Ketika  membaca  buku,  saya  sangat  dipengaruhi  oleh  keinginan  untuk  mencari
               sesuatu  yang  bermanfaat  buat  kehidupan  sehari-hari  saya.  Jadi,  koleksi  buku  yang
               saya baca sering beragam, yang terkait dengan sastra dan getaran politik. Kalau tidak
               bertemakan  cinta  kehidupan  sosial  seperti  dalam  novel  dan  puisi  pasti  sastra  sering
               berhubungan dengan ilmu politik. Ada yang diinginkan oleh seseorang terhadap sastra,
               antara  lain  nuansa  politiknya.  Dalam  politik,  seringkali  kekuasaan  pribadi  masuk  ke
               dalam ranah sastra. Jika pembaca adalah seorang penguasa, tentu dapat berpengaruh
               lain  terhadap  kondisi  sastra.  Kekuasaan  pembaca  sering  menghegemoni  teks-teks
               sastra politik.
                     Kalau begitu sastra dan politik memang sering berkaitan satu sama lain. Eagleton
               (2006:283-286)  menyatakan  bahwa  sastra  dan  politik  tidak  akan  pernah  lepas.
               Keduanya jalin-menjalin, mewujudkan hubungan sinergis. Bahkan, menurut dia sering
               ada  hubungan  antara  politik  internasional  terhadap  teori  sastra.  Dalam  bagian  buku
               teori  sastra  dia  membahas  secara  khusus  tentang  ”kritik  politik”.  Maksudnya,  bahwa
               politik  sering  berpengaruh  terhadap  sastra.  Redupnya  teori  sastra,  besar  atau  kecil
               dapat dipengaruhi oleh cara kita mengorganisir kehidupan sosial.
                     Tema-tema  yang  tidak  pernah  dan  tidak  mungkin  saya  sentuh  adalah  yang
               berhubungan  dengan  politik,  baik  yang  masuk  kelompok  bersih  maupun  kotor,  yang
               bersifat  jujur-menjujur  ataupun  tipu-menipu,  dan  politik  bersayap  (yang  kiri  dan  yang
               kanan itu lho). Saya segera menjauhkan pikiran dan tubuh jika bersinggungan dengan
               hal tersebut. Misalnya, ketika di televisi sedang ada program berita, cepat-cepat saya
               ganti  (sangat  sempit  pikiran).  Banyak  orang  mengakui  hal  demikian,  ketika  sastra
   92   93   94   95   96   97   98   99   100   101   102