Page 99 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 99
menikamnya, kemudian bermunculan penyanyi-penyanyi instan, bersuara pas-pasan,
namun tampang ’menjual’, lagu-lagu plagiat, sampai penipuan publik dalam penampilan
panggung (lypsinc).
Dalam pandangan saya, biarpun sastra dimanfaatkan secara politik, tidak akan
kehilangan jati dirinya. Sastra tetap berperangai indah. Sastra sejatinya adalah cerita
panjang yang dirangkum dalam baris kata, diksi tertentu, nilai keindahan makna dalam
gaya bahasa, hingga titik-koma. Adapun sastra menyimpan energi perjuangan:
terhadap ketidakbenaran, menolak penindasan, hingga mengkoarkan kemerdekaan,
itulah muatan politik. Lagu politik sering bertebaran dalam setiap baris sastra. Maka,
sastra yang bermuatan politik sering berbelok-belok, mengikuti arus perjuangan.
Lalu, apa bedanya dengan politik. Semakin lama saya merenung semakin pusing
kepala saya. Dalam hati saya mempercayai bahwa politik dan sastra mempunyai
hubungan yang tak terlihat namun sejatinya, sangat erat. Apakah ketidakmampuan
melihatnya adalah sebab menjamurnya politisi-politisi tak punya idealisme, pun
sastrawan yang pendiam? Dalam larik-larik puisi WS Rendra yang bergolak pada
masalah pembangunan, itu pun muatan politik. Sang penyair sedang gerah dengan
kata pembangunan, yang lebih luas lagi ihwal politik. Dalam kacamata penyair, politik
selalu tidak menguntungkan sastra.
Pada suatu titik saya berhenti (jika dianimasikan seperti lamunan Thomas A.E.:
lampu yang tiba-tiba bersinar di atas kepala), Akhinya, dapat disimpulkan bahwa sastra
adalah masalah ”keindahan dan kebaikan”. Indahdan baik itu pun kata-kata politik.
Sentuhan politik senantiasa berupaya memeluk hasrat kemanusiaan. Sastra dan politik
selalu bersentuhan dengan persoalan hidup manusia. Usaha manusia mencari
kemenangan dan jati diri, itulah basis sastra dan politik. Sastra membangun irama
kehidupan, agar semakin harmoni. Sementara politik ialah tentang ”mengatur
kelangsungan hidup” (individu maupun kelompok). Hidup pun sering memerlukan
sastra.
Gayutan sastra dan politik, seperti air dengan teh, menyatu tidak terpisahkan.
Ketika seorang politikus tidak memahami/tidak mempunyai ’jiwa’ sastra maka ia akan
menjadi pemimpin yang tidak peka terhadap kebutuhan rakyat, menjadi ‘anak buah’
politiknya sendiri. Politikus yang buta sastra, seringkali pernyataanya kekring dalam
memahami kemanusiaan. Sebaliknya, ketika sastrawan buta politik, ia hanya menjadi
’gula-gula’ yang cakupan pengaruhnya hanya sebatas dunia ciptaannya sendiri, boro-
boro ikut membangun bangsa. Oleh sebab itu, politikus tidak seharusnya alergi sastra,
begitu pula sastrawan semestinya haus pada plitik.
Jika demikian, sastrawan harus fleksibel, saatnya belajar politik. Begitu pula
politikus, sudah saatnya mau melirik sastra. Dalam hal kekuasaan, sastra dan politik
senantiasa berperan penting. Sastra dapat menjadi wahana seseorang meraih
kepemimpinan. Lewat sastra kepemimpinan semakin humanis. Begitu pula dengan
politik, seorang pemimpin dapat melanggengkan kepemimpinanna. Pimpinan yang
bernaung pada sastra dan politik, jauh lebih disegani dibanding yang sekedar dingin-
dingin saja.
B. Politik Sastra dan Sastra Politik Kepemimpinan
Politik itu suatu perilaku yang seharusnya bijak. Politik semestinya halus, penuh
dedikasi, dan menenteramkan. Begitu juga politik sastra, adalah tindakan bijak untuk