Page 94 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 94

D. Budaya Politik: Menyenangkan Atasan
                       Hardjowirogo  (1989:13-14)  memberikan  tanda  deskripsi  zaman  edan  adalah
               terletak  pada  sikap  masyarakat  (Jawa)  yang  ‘senang  ‘  menyenangkan  hati  atasan.
               Sikap  ini  sebagai  buntut  dari  tradisi  kekuasaan  feodalistik.  Hal  ini  memang  pernah
               (kabarnya) disugestikan oleh R Ng Ranggawarsita bahwa: “Sing sapa ngerti ing panuju,
               prasat pagere wesi.” (Barangsiapa yang bagaimana menuju hati seseorang, bagaikan
               ia  berpagar  besi).  Maksud  dari  sugesti  ini,  mestinya  bagi  bawahan  yang  selalu  bisa
               melegakan  atasan,  dengan  sikap  mundhuk-mundhuk,  nun  inggih  sendika  dhawuh,
               kalau perlu mengelabuhi kesalahan atasan, dan sebagainya – ia akan diselamatkan.
                       Hal  tersebut  pernah  dikritik  oleh  Eki  Syahrudin,  anggota  Komisi  VII  DPR  RI
               tahun, tanggal 17 Desember 1997 di Taman Mini Indonesia, yang menyatakan bahwa
               budaya  daerah    (Jawa)  yang  cenderung  bersifat  kratonik  itu  sudah  kurang  layak
               sebagai modal menyongsong abad XXI nanti. Budaya stratik itu harus dirombak, diganti
               dengan  budaya  demokratik.  Pasalnya,  budaya  kratonik  itu  justru  menghambat
               kemajuan  dan  kreativitas  bangsa.  Budaya  semacam  ini,  sering  ‘anti  kritik’,  melainkan
               lebih ke arah ‘ABS’ (asal bapak senang) dan jilatisme. Implementasi budaya Jawa yang
               kraton life dan terlalu hirarkhis itu, menghendaki bawahan harus patuh. Bawahan harus
               bisa ngapurancang, tutup mulut, sendika dhawuh, dan inggih-inggih, jika pinjam istilah
               Darmanta Jatman. Budaya ini akan ‘mematikan’ prestasi. Kurang memupuk jiwa untuk
               berkembang secara wajar.
                       Kemungkinan  besar,  gaya  politik  semacam  itu  memang  disaat  orde  baru
               semakin  menjadi-jadi,  karena  kekuasaan  adalah  sebagai  kemampuan  pelaku  untuk
               mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku pelaku
               terakhir  menjadi  sesuai  dengan  keinginan  dari  pelaku  yang  mempunyai  kekuasaan.
               Kekuasaan  sebagai  upaya  untuk  mencapai  tujuan  kolektif  dengan  jalan  membuat
               keputusan-keputusan yang mengikat, yang jika mengalami perlawanan, dapat didukung
               dengan  sanksi  negatif.  Pandangan  Parson  ini  cenderng  melihat  kekuasaan  sebagai
               wewenang  (authority) yaitu  keinginan  mencapai tujuan  yang  terkesan ada  “paksaan”.
               Konsep kekuasaan demikian, sebenarnya didasarkan atas fakta politik yang terjadi di
               negara-negara  barat.  Namun  demikian,  di  Indonesia  pun  sebenarnya  konsep
               kekuasaan  juga  senada  dan  seirama  dengan  pendapat  Parson.  Hanya  saja,  cara
               mendapatkan  kekuasaan  dalam  kancah  politik,  antara  negara  barat  dan  timur
               (Indonesia-Jawa) memang dimungkinkan ada perbedaan.
                       Hal  tersebut  telah  dikaui  oleh  Anderson  (1972:5-8)  yang  menjelaskan  bahwa
               kekuasaan dalam pola pikir budaya Jawa berbeda dengan kekuasaan di Barat. Di Jawa
               kekuasaan  memiliki  ciri-ciri,  yaitu:  (1)  kekuasaan  itu  konkrit,  artinya  kekuasaan  itu
               adalah bentuk realitas seperti kekuatan yang ada pada batu, kayu, api dan sebagainya.
               Kekuasaan  adalah  “daya”  yang  merupakan  kaitan  paham  animisme  desa  dengan
               paham panteisme metafisik perkotaan. (2) kekuasaan itu homogin, kekuasaan itu sama
               sumbernya,  dan  (3)  jumlah  kekuasaan  di  alam  semesta  selalu  tetap.  Alam  semesta
               tidak bertambah luas dan sempit. Pendek kata, kekuasaan Jawa sangat terkait dengan
               konsep  kasekten.  Dengan  konsep  ini,  maka  akan  diperoleh  kewibawaan  seorang
               pimpinan.  Cara  memperoleh  kekuasaan  ini,  menurut  Ali  (1986:30)  sering  dilakukan
               melalui semedi. Bahkan dalam Babad Tanah Jawi dikatakan bahwa orang Jawa sering
               neges kersaning hyang ingkang murbeng pandulu. Maksudnya, mencoba melihat apa
               yang dikehendaki oleh Tuhan yang Maha mengetahui.
   89   90   91   92   93   94   95   96   97   98   99