Page 103 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 103
penulisan esai dengan tatanan penulisan puisi. Ia menggunakan bahasa yang lugas
dan data yang tegas, namun masih sesekali mengandalkan kekuatan personifikasi.
Sebaliknya, ia terwujud dalam sederet bait, namun terlepas dari ketentuan tentang
keserasian kata, suku kata, rima, dan irama.
Fang Yin tergambar sebagai korban perkosaan yang terjadi pada pertengahan Mei
1998. Dia diperkosa sekelompok orang ketika terhadang kerusuhan bernuansa rasial di
Jakarta. Setelah kejadian itu, ia dan keluarganya mengungsi ke Amerika Serikat. Dalam
duka, Fang Yin, kehilangan dua cinta sekaligus; cinta kekasih dan cinta tanah air.
Dilihat dari isinya, Sapu Tangan Fang Yin adalah karya sastra tentang politik; sastra
politik.
Denny J. A., si penulis puisi esai, berusaha mendekatkan karyanya dengan
peristiwa yang benar-benar muncul pada Mei 1998 itu. Ia berulang kali mendeskripsikan
kekacauan yang terjadi saat itu dengan berbagai kata yang mendefinisikan kekacauan,
seperti pemerkosaan, kerusuhan, asap, api, dan sebagainya. Dalam hal ini, puisi esai
itu memang merefleksikan kenyataan karena ungkapan tentang pemerkosaaan dan
permusuhan terhadap etnis Tionghoa bersesuaian hasil investigasi Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF) . Puisi esai itu berhasil membawa nuansa kerusuhan saat itu ke
atas kertas. Kelugasan cara bertutur, yang kadang dibumbui dengan metafora
secukupnya, membuat pembaca bisa dengan mudah membayangkan suasana
mencekam yang menghantui Fang Yin.
Hal lain yang menjadi titik berat puisi esai itu adalah pertanyaan mengenai cinta.
Sang pengarang berusaha menempatkan rasa cinta terhadap kekasih sebagai
gambaran tentang rasa cinta kepada negara. Sekaligus, bagian tentang cinta kekasih
itu menjadi pemanis dalam cerita. Rasa cinta tanah air terlontar dan tersurat dalam
beberapa bait melalui ungkapan, “Apa arti Indonesia bagiku?”. Melalui pertanyaan itu,
puisi itu ingin menegaskan sekaligus mempertanyakan nasionalisme warga Tionghoa.
Selanjutnya, si penulis puisi-esai secara “cantik” mampu membuat pagar pembatas
antara narasi pribadi dan penokohan. Ia bisa menggambarkan nuansa rasisme dalam
peristiwa itu dengan “membuat” sejumlah tokoh mengucapkan kata “cina”. Pada saat
yang sama, beberapa narasi yang ada menunjukkan penghormatan si pengarang
terhadap etnis itu dengan menggunakan istilah Tionghoa. Hal itu antara lain bisa dibaca
dalam bait berikut:
Teriakan pun berubah arahnya
Dan terdengarlah Bakar Cina! Bakar Cina!
Gerombolan yang tegap dan gagah
Menyisir toko, kantor, dan pemukiman Tionghoa
Baris ketiga dalam bait itu, juga menjadi cara si pengarang untuk berusaha
memberikan gambaran pelaku pemerkosaan tanpa menuduh kelompok atau korps
tertentu. Hal mendasar yang patut menjadi bahan permenungan dalam diskusi sastra
politik adalah bagaimana suatu karya sastra mencerminkan realitas politik. Sejauh
pengamatan penulis, tidak ada catatan bahwa cerita tentang Fang Yin adalah kisah
nyata. Pertanyaan itu juga sering kali ditujukan terhadap karya sastra lain yang
mengulas peristiwa sejarah. Pergumulan tersebut kadang berujung pada pernyataan
bahwa karya sastra tidak bisa dijadikan sumber sejarah. Itulah sebabnya, Sutardji
Calzoum Bachri menulis kata-kata tentang buku Atas Nama Cinta dengan tegas, “Puisi
atau imajinasi bisa sewenang-wenang terhadap fakta sebagaimana sewenang-