Page 81 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 81
tama dianggap jahat atau tidak bermoral, tetapi merupakan sesuatu yang
mengalihkan dan mengacaukan pemikiran, dan karena itu menyebabkan hilangnya
kekuasaan. Banyak contoh garis pemikiran seperti ini ditemitkan dalam kepustakaan
tradisional. Bukan hanya para satria yang suka melakukan praktik-praktik matiraga.
Sebagian dari mereka yang paling gigih melakukan hidup matiraga ini berasal dari
kalangan "buta" (dalam arti Jawa) dan raksasa yang dalam lakon-lakon wayang
merupakan musuh abadi para dewa dan manusia.
Karena itu, kekuasaan mereka sering luar biasa, malah kadang-kadang
melebihi kekuasaan dewa-dewa. Tetapi perbedaan pokok antara para satria dan
musuh-musullnya adalah bahwa pada akhirnya musuh-musuhnya itu membiarkan
kekuasaan mereka kacau balau, karena mereka menuruti hawa nafsu tanpa
kekangan, sedangkan para satria mempertahankan kebulatan tekad dan kesatuan
tujuannya secara ketat, yang menjamin dapat dipertahankannya dan dihimpunnya
kekuasaan secara terus-menerus.
Paham ortodok kejawen memang masih memunculkan kontroversi dalam
kancah kepemimpinan. Ada pemimpin yang pergi ke dukun, selalu dikatakan
menyimpang. Ada pemimpin yang memelihara burung perkuktut, dianggap
berlebihan. Jadi orang Jawa yang demikian sering dianggap aneh, bahkan ada yang
menuding sebagai orang sinting. Silahkan saja, tetapi realitas sulit dibantah bahwa
jagad kepemimpinan Jawa senantiasa ada yang memanfaatkan paham ortodok.
Paham itu tetap penting dan ada manfaatnya.
B. Sipat Kandel: Simbolisme Kekuasaan dan Kepemimpinan Jawa
Kepemimpinan Jawa sering memanfaatkan sipat kandel sebagai pusaka
penting, untuk mempertahankan kekuasaan. Sipat kandel adalah pusaka andalan
sang pemimpin. Pusaka tersebut yang menimbulkan rasa percaya diri ketika
memimpin sebuah komunitas. Manakala seseorang mempunyai sipat kandel,
kepemimpinan akan langgeng dan lebih berwibawa. Sipat kandel pada masa lalu,
jaman Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya disebut keris Setan Kober. Di kraton
Mataram ada sipat kandel yang disebut tombak Kyai Pleret. Di jaman Ki Ageng
Mangir ada pusaka mistis disebut Kyai Tombak Baru Klinthing. Masih banyak lagi
pusaka aji yang tergolong sipat kandel. Tidak hanya keraton yang memiliki,
melainkan orang yang memimpin desa pun memilikinya.
Sipat kandel dapat diperoleh melalui laku perihatin (tirakat). Ada pula sipat
kandel yang berupa warisan tujuh kekturunan. Sipat kandel warisan pun tidak semua
orang mampu memelikinya. Oleh sebab itu, berbabagai ritual kejawen sering
dilakukan untuk memuliakan sipat kandel. Ritual membershkan sipat kandel sering
bersifat politik. Ada pula ritual yang dikaitkna dengan pertunjukan wayang, untuk
menghormati sipat kandel tertentu. Beberapa upacara sangat jelas bersifat
memanggil seperti misalnya mengadakan pertunjukan wayang di istana presiden
dengan lakon-lakon yang dipilih secara khusus karena simbolisme politiknya yang
relevanimbol politik itu tidak lain untuk memperkokoh kepemimpinan dan memuja
sipat kandel. Pimpinan juga sering memanggil para pemimpin berbagai kelompok
spiritual dan mistik yang disebut nujum untuk melakukan ritual khusus sipat kandel.
Pimpinan yang mengikuti laku kistik, menurut Woodward (1999:104)
merupakan bentuk perilaku keagamaan. Mistik adalah praktik religi untuk