Page 79 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 79

BAB VIII
               SIMBOLISME KEPEMIMPINAN JAWA

               A. Kasekten dan Tradisi Kepemimpinan Jawa Ortodok
                     Kasekten  bersifat  simbolik,  tidak  tampak  secara  kasatmata.  Halini  memang
               diakui  oleh Woodward  (1999:19)  bahwa  orang  Jawa  sering  menggunakan  simbol
               wayang,  untuk  mengaktualisasikan  kasekten.  Kasekten  adalah  sebuah  legitimasi
               pimpinan.  Untuk  mendapatkan  legitimasi,  raja  menjadi  objek  kehormatan
               keagamaan  di  mana  ia  memiliki  prioritas  untuk  mendaparkan  kekuatan
               supranatural  (kasekten)  yang  membenarkan  mereka  dalam  menjalankan
               kekuasaan. Dibimbing oleh ilham kekuasaan supranatural (wahyu; wangsit), mereka
               mengajarkan  kata-kata  bijak  dan  tidak  mungkin  bertindak  salah;  sebaliknya,
               hilangnya ilham berarti keruntuhan.' Raja dianggap perwujudan kerajaan, menjadi
               negara,  sebagaimana  adanya.  Bertindak  atau  berbicara  menentangnya,  atau
               menentang  negara,  adalah  memberontak  (mbalelo) dan  benar-benar  berdosa  dan
               pantas dihukum.
                     Konseptualisasi  dinasti  ini  menunjukkan  persamaan  yang  kuat  dengan
               ideologi  keluarga,  dengan  perbedaan  yang  penting  yaitu  bahwa  seorang  raja
               memerlukan  kekuasaan  terlebih  dahulu  sebelum  ia  dapat  menyatakan  status
               setengah-relijius  dan  memerintahkan  agar  dapat  diterima  dan  disah_k_a n  di
               hadapan rakyat. Mereka tidak diterima secara "alami" seperti halnya orang tua dan
               tidak dapat mengklaim secara moral seialan dengan kebutuhan atas eksistensinva
               sehari-hari.
                     Orang  Jawa  memang  memiliki  tradisi  kejawen  yang  amat  khas,  untuk  meraih
               jenjang  kepemimpinan.  Mereka  biasanya  tidak  sekedar  mengandalkan  kekuatan
               lahir  saja,  demi  meraih  kedudukan.  Tradisi  kejawen  yang  ke  arah  back  to  basic,
               masih  menjadi  sendi  kehidupan  para  pemimpin.  Tradisi  kejawen  yang  gemar
               menyepi  di  tempat-tempat  sunyi  untuk  melakukan  konsentrasi  batin  yang  disebut
               manages, masih sering dijalankan oleh orang Jawa.
                     Pengalaman  saya  sebelum  memangku  sebagai  pimpinan,  pemah  diingatkan
               oleh  orang  tua  saya.  Katanya,  ketika  memangku  jabatan  pimpinan  pasti  adayang
               suka dan tidak suka. Ada juga dikanan kiri kita, ada yang senang dan tidak senang.
               Buntut dari dua kutub yang berbeda itu, sering memunculkan konflik. Konflik dapat
               dipicu oleh rasa dengki, iri, dan dendam satu sama lain. Dalam keadaan demikian,
               kita  perlu  memimpin  dengan  paham  khusus,  yaitu  benteng  tubuh,  agar  tetap
               selamat. Benteng tubuh dapat disebut “pager awak”, yang diperoleh secara ortodok
               kejawen yang disebut olah kanuragan.
                     Memang  diakui  oleh  Anderson  (1986),  bahwa  niat  orang  Jawa  yang  masih
               mengikuti  jalur  tradisi  itu  sering  dicemooh.  Orang  Jawa  sering  mendapat  cap
               berpandangan ortodok. Pandangan ortodoks, adalah usaha memperoleh kekuasaan
   74   75   76   77   78   79   80   81   82   83   84