Page 72 - EBOOK_Falsafah Kepemimpinan Jawa
P. 72
Arab menonjol karena munculnya Muhammad, dan sederet panjang pemimpin dengan
karakter masing-masing. Umumnya para pimpinan kerajaan selalu aman-aman saja.
Maksudnya, jarang ada rakyat yang berani mengkritik raja. Kepemimpinan raja
biasanya anti kritik dan bersifat otokratik.
Dalam tradisi Jawa sejak zaman dahulu sampai dengan sekarang, dikenal
pemimpin-pemimpin dalam kurun waktu tertentu yang menonjol yang tentu saja juga
dengan karakter masing-masing seperti Balitung, empu Sendok, Darmawangsa Teguh,
Airlangga, Empu Bharada, Jayabhaya, Kertanegara, Gajah Mada, Sunan Kalijaga,
Sunan Giri, Fatahilah, Ki Juru Martani, Panembahan Senopati, Sultan Agung,
Mangkubumi, Diponegara, dan lain-lain. Karakter pemimpin tersebut tentu saja
berkaitan dengan situasi dan kondisi zamannya yang menuntut sikap tertentu.
Pemimpin tersebut jelas memiliki tradisi gemilang, biarpun bernada otokratik.
Tulisan ini mencoba memahami konsep-konsep kepemimpinan dalam budaya
Jawa dan aplikasi praktisnya. Pemimpin dalam tulisan ini tidak selalu dalam artian
pimpinan formal seperti raja, presiden, bupati, dan seterusnya, tetapi lebih condong
kepada model kepemimpinan (leadership) serta tokoh pengendali kepemimpinan.
Sebagai misal, pimpinan Majapahit bukanlah raja Majapahit, melainkan Gajah Mada
yang berperan dalam pengendalian negara. Pemimpin tidak selamanya harus orang
nomor satu, melainkan figur yang berhak dan bertugas mengambil kebijakan. Pemimpin
Jawa yang bijak, tentu memiliki karakter khusus. Paling tidak seorang pemimpin
hendaknya tidak mudah menyakiti bawahan. Pemimpin yang agung binathara, bertubuh
dewa, pemikirannya tentu dapat menyenangkan bawahan.
Pemimpin agung binathara adalah orang yang benar-benar disegani. Dia orang
yang berwibawa, tidak perlu mencari-cari kewibawaan. Pemimpin termaksud sudah
dengan sendirinya akan dihargai oleh rakyat. Menurut hemat saya, ada dua tanda
penting seorang pemimpin agung binathara, yaitu (1) dapat menjaga kepaduan lisan
dan perbuatan. Tindakan pimpinan adalah potret dari pemikiran. Tindakan yang dapat
dihargai bawahan dapat disebut wong agung, artinya orang berjiwa besar; (2) dapat
diteladani segala tindakannya, dapat emnyenangkan bawahan, dan tidak pernah
menyakitkan bawahan. Pimpinan semacam ini, akan disegani bawahan bukan atas
dasar keterpaksaan, melainkan secara legawa atau ikhlas bawahan mencitai
atasan.Bawahan ingin menjaga atasan dan atasan pun melindunginya.
B. Pemimpin Tanpa Pamrih dan Penuh Pamrih
Pemimpin yang berjiwa tanpa pamrih dapat disebut pemimpin sejati. Ragam
pimpinan semacam ini tidak lain merupakan pendukung hadirnya istana kepemimpinan
yang handal di masa depan. Tanpa pamrih menandai bahwa pemimpin bukan untuk
memperkaya diri dan kroninya, melainkan untuk mengabdikan diri. Pemimpin yang
sedikit berjuang, tetapi ingin meraub untung, itulah pemimpin gombal. Ingin tahu, yang
dimaksud gombal adalah simbol kain serbet, yang kotor. Serbet adalah kain kotor.
Persoalannya, adakah istana itu dalam dunia realitas? Keadaan ini selalu
ditampilkan dengan berbagai syarat kepemimpinan Jawa. Dambaan setiap orang Jawa
adalah istana yang serba mewah, nyaman, damai, apabila persyaratan gaya
kepemimpinan itu dapat diraih. Ada dua gaya pemimpin yang saling bertolak belakang,
yaitu (1) tanpa pamrih, hanya mengandalkan keikhlasan, legawa, dan penuh
pengabdian sejati dan (2) penuh pamrih, memipin dengan niat akan mengeruk