Page 159 - Toponim sulawesi.indd
P. 159
Jaringan Maritim Indonesia: Sejarah Toponim Kota Pantai di Sulawesi 145
Pemerintahan Inggris di bawah pemerintahan Residen Thomas Nelson
tetap melanjutkan penyerahan wajib hasil bumi kepada pemerintah yang
berkuasa sesuai dengan perjanjian 14 September 1810.
Pada tahun 1825 uang mulai diperkenalkan di Minahasa dan dapat
digunakan sebagi alat pembayaran. Beberapa tempat yang menjadi kegiatan
jual beli, seperti Manado, Tondano dan Kema, uang sudah digunakan.
Dari sini pertumbuhan perdagangan mulai meningkat, bahkan pemeritah
Belanda mengesampingkan para pedagang Cina dan mengalihkan peran itu
kepada orang-orang Borgo. Hal ini dilakukan karena gangguan keamanan
perdagangan laut semakin berkurang dan tidak ada banyak pekerjaan lagi
yang dapat dilakukan oleh orang-orang Borgo, maka orang Borgo dialihkan
menjadi pedagang perantara dari pribumi kepada pemerintah Belanda
untuk pemasukan hasil-hasil bumi ke loji Kema. Tidak hanya itu, orang-
orang Cina dilarang untuk melakukan perdagangan dengan penduduk
pribumi di luar kota (Manus, dkk., 1987: 78).
Dalam perkembangan selanjutnya, orang-orang Borgolah yang
memegang peran penting dalam perdagangan di pelabuhan Kema. Hasil-
hasil pertanian yang mereka dapatkan sebagai perantara, seperti padi,
beras, kopi, kacang-kacangan, dan ternak termasuk dalam bentuk daging
mentah. Peran seperti ini tidak berlangsung lama, oleh karena kebiasaan
mereka salah satunya adalah melaut sebagai nelayan yang sudah dilakukan
sejak lama. Apalagi tempat tinggal mereka sangat dekat dengan laut.
Sampai perginya Belanda, dan Indonesia merdeka, sistem perdagangan
yang dilakukan di Kema akhirnya secara perlahan mulai diambil alih oleh
mereka yang bertahan dibidang dagang dan bersama dengan penduduk
pribumi setempat dan sekitarnya, tanpa disadari terbentuk sistem kegiatan
perdagangan tradisional, yaitu:
1. Dari ladang dan pedalaman Minahasa, bahan-bahan hasil bumi dibawa ke pasar
tradisional Kema dan mereka ini disebut sebagai tibo, tibo-tibo atau petibo.