Page 165 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 165
dilatih langsung oleh Om Liem. Tetapi saat ini, satu-satunya
orang yang kupercaya adalah diriku sendiri. Bahkan aku tidak
memercayai Om Liem—dalam situasi ini satu-dua kalimat dan
tingkah bodoh bisa membuat seseorang (termasuk Om Liem
atau Ram) tanpa disengaja telah mengkhianati sesuatu, jadi
bukan sekadar soal dapat dipercaya atau tidak lagi.
Telepon genggamku kembali berbunyi.
”Ada berita penting, Thom.”
”Umur panjang, baru saja kusebut, kau sudah meneleponku,
Maggie.” Aku tertawa kecil, sedetik mengingat hal bodoh yang
pernah kami lakukan saat masih menjadi mahasiswa sekolah
bisnis. Baru saja kusebut nama Maggie pada Ram, dia me-
neleponku.
Ini sudah menjadi tradisi panjang yang tidak bisa ditelusuri
muasalnya. Setiap kali kita habis menyebut nama seseorang, dan
tiba-tiba dia muncul, orang-orang tua kita selalu mencontohkan
berseru, ”Umur panjang.” Kami dulu suka jail membahas hal-hal
seperti ini di tengah pening mengerjakan tugas dari profesor
yang bertumpuk. Apa coba hubungannya umur panjang dengan
tiba-tiba dia muncul?
”Terima kasih doanya, Thom. Tetapi aku harap tidak
menghabiskan umur panjangku dengan bekerja di tempatmu.”
Maggie tidak tertawa, dia fokus. ”Berita penting, Thom.”
”Silakan,” aku menjawab takzim.
”Gubernur bank sentral dan kepala lembaga penjaminan
simpanan malam ini pukul tujuh akan menumpang pesawat
keluar kota. Mereka ada jadwal mengisi kuliah umum bersama
di salah satu kampus terkemuka besok pagi-pagi, dan segera
kembali ke Jakarta setelah itu. Kau mau kubelikan satu tiket
163
Isi-Negeri Bedebah.indd 163 7/5/2012 9:51:10 AM