Page 169 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 169
”Kau belum pernah melihat pembeli yang langsung memakai
baju yang dibelinya?” aku berkomentar santai, mengeluarkan
kartu kredit.
”Eh, bukan itu. Maaf.” Gadis itu salah tingkah.
Temannya menyikut lengan, menyuruhnya bergegas me-
nyelesaikan transaksi.
Aku juga sempat mampir ke toko buku di sebelah butik itu,
mencomot sembarang buku paling mutakhir tentang perbankan,
beberapa majalah mingguan ekonomi terkemuka dunia, ditambah
surat kabar sore berbahasa Inggris. Hingga akhirnya final call
penerbangan ke Yogyakarta terdengar di langit-langit bandara.
Tampilanku sudah lebih dari cukup meyakinkan. Aku berjalan
santai menuju gate enam, menyerahkan boarding pass, lantas
melintasi garbarata yang dipenuhi penumpang.
Pramugari tersenyum menyapa, ”Seat nomor berapa?”
Aku membalas senyumnya, sambil menyebut nomor kursi.
”Silakan, Pak Thomas.” Sudah standar baku kelas eksekutif,
pramugari menghafal seluruh nama calon penumpang yang lima
menit lalu diberikan petugas ground handling.
Maggie benar, dua pejabat tinggi negara itu sudah duduk di
kursi masing-masing. Aku persis di seberang mereka, terpisah
lorong kecil. Kelas eksekutif yang hanya menyediakan dua belas
kursi terisi separuh. Aku duduk dengan rileks, memasang safety
belt, lantas membuka koran sore, mulai pura-pura membaca
headline besar tentang Bank Semesta.
Dua pejabat di sebelahku membicarakan sesuatu, tertawa
terkendali—nostalgia kampus lama mereka sepertinya, tempat
mereka besok mengisi kuliah umum. Pesawat mulai memasuki
runaway. Dalam hitungan detik, pilot menginformasikan pesawat
167
Isi-Negeri Bedebah.indd 167 7/5/2012 9:51:10 AM