Page 166 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 166
kelas eksekutif agar bisa bersebelahan kursi dengan mereka pada
malam ini atau besok paginya?”
Aku sungguh tertawa untuk sesuatu yang lebih penting se-
karang. Ini update paling brilian yang disampaikan Maggie dua
belas jam terakhir. Maggie stafku yang paling cerdas. Dia
berpikir sama sistematisnya denganku. ”Bisa dipahami, Thom.
Maggie hampir empat tahun menjadi stafmu. Mengikuti ritme,
cara, waktu kerja, bahkan pola berpikirmu. Dia berkembang
menjadi staf paling mutakhir dan resourcesfull karena kau, Thom.”
Itu komentar Theo, teman dekatku sejak suka bicara omong
kosong tentang ”panjang umur” di sekolah bisnis. Aku tidak tahu
apakah Theo serius. Yang aku tahu, Maggie salah satu amunisi
terbaikku.
”Skedul yang mana, Thom? Malam ini atau besok pagi? Aku
masih punya pekerjaan lain selain mengurus tiketmu.” Suara
ketus Maggie kembali terdengar.
”Segera, Mag, yang malam ini. Kaupastikan ke petugas city
check-in agar aku persis duduk di sebelah mereka. Kauemailkan
e-tiketnya. Aku segera menuju bandara sekarang.” Aku meng-
angguk, memutus pembicaraan, melempar telepon genggam
sembarangan, lantas tangan kiriku mengganti persneling,
membanting setir, dan menekan klakson panjang. Mobil yang
kukemudikan berputar tajam. Membuat ”pak ogah”—pengatur
lalu lintas gadungan yang sering mangkal di perempatan, U-turn,
atau bagian jalan apa saja yang sering macet—terbirit-birit takut
kena tabrak.
Hampir pukul enam sore. Warna merah jingga di langit mulai
pudar, bergantikan gelap. Waktuku tinggal 36 jam, 15 menit
sebelum pukul 08.00 hari Senin.
164
Isi-Negeri Bedebah.indd 164 7/5/2012 9:51:10 AM