Page 173 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 173
bank jatuh, menyeret bank-bank lain, kami bertanggung jawab
penuh atas situasi itu. Nah, ketika situasi terburuk masih
mungkin terjadi, lebih bijak mengambil situasi buruk yang paling
kecil risikonya.” Lima belas menit berlalu, mereka sudah tahu
namaku—demi sopan santun pembicaraan, tadi aku memper-
kenalkan diri.
”Tetapi pemiliknya perampok besar, Pak. Bank Semesta,
ibarat rumah, adalah rumah perampok besar. Di mana letak rasa
keadilannya?” Aku pura-pura masih tidak terima. Tiga puluh
menit pembicaraan, gelas kopi kedua dari pramugari terhidang.
Pejabat bank sentral tersenyum, menggeleng. ”Kau keliru,
Thomas. Aku paham apa yang kaumaksud. Anak muda seperti-
mu terkadang terlalu emosional. Boleh jadi bank itu rumah
perampok, tapi ketika dia terbakar di tengah angin kencang,
musim kemarau krisis dunia, kalau kita biarkan sendiri, apinya
akan menjalar ke rumah-rumah lain, bahayanya akan lebih besar
lagi. Jadi pilihan terbaiknya boleh jadi memadamkan api rumah
itu dulu. Urusan menangkap rampok, mengambil harta yang
pernah dia rampok, tentu saja harus dilakukan sesuai koridor
hukum yang ada.”
Aku menghela napas, masih hendak membantah.
”Jangan lupakan satu fakta kecil, Thomas,” kepala lembaga
penjamin simpanan ikut menambahkan—dan otomatis dia pasti
dalam posisi yang sama dengan pejabat bank sentral, ”kalaupun
pemerintah memutuskan memberikan talangan, dana itu diambil
dari premi yang dikeluarkan seluruh bank untuk tabungan, depo-
sito, dan rekening lainnya milik nasabah. Jadi itu bukan uang
rakyat, itu persis seperti premi yang dibayar pemilik kendaraan.
Ketika ada satu kendaraan yang meminta klaim rusak, atau
171
Isi-Negeri Bedebah.indd 171 7/5/2012 9:51:10 AM