Page 175 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 175

perbankan  Jenewa,  bukan?  Kau  bedebah,  eh,  maksudku  anak
               muda  yang  berkelas,  Thomas.  Esok  lusa,  siapa  tahu  jika  kau
               tertarik  menjadi  pejabat  publik,  kau  bisa  menjadi  pejabat  yang

               lebih baik, berani, dan taktis dibanding kami. Ini antara kau dan
               aku  saja.  Dulu  waktu  masih  sibuk  mengajar  di  kampus,  kami
               selalu  memanggil  mahasiswa  paling  pintar  dengan  sebutan  be-
               debah. Kalimat makianmu tadi mengingatkanku banyak hal.”
                  Nah,  inilah  peraturan  kelima,  terkadang  kita  butuh  keber-
               untungan. Aku tidak menduga kata ”bedebah” itulah kunci ter-
               baik  percakapan  kami.  Aku  bergegas  menggeleng.  ”Tidaklah,
               Pak.  Saya  harus  belajar  banyak  mengendalikan  emosi  bahkan
               sebelum memikirkan kemungkinan itu.”
                  Mereka berdua hilang di lobi bandara yang ramai.
                  Aku bergegas kembali menuju loket penjualan tiket.
                  ”Satu tiket penerbangan ke Jakarta malam ini.”
                  ”Kelas eksekutifnya penuh.”
                  ”Saya harus kembali ke Jakarta segera. Apa saja, tiket berge-
               lantungan, bahkan tiket duduk di toiletnya juga tidak masalah.”
                  Gadis yang menjaga loket tertegun sejenak.
                  ”Saya hanya bergurau. Kau bergegaslah.”




















                                          173




       Isi-Negeri Bedebah.indd   173                                 7/5/2012   9:51:10 AM
   170   171   172   173   174   175   176   177   178   179   180