Page 179 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 179
pesawat sudah mendarat beberapa menit lalu. Masih satu
setengah jam dari jadwal pertemuan yang kuminta dari Ram,
tapi bergegas tiba lebih dulu di tempat pertemuan lebih baik.
Aku menyalakan telepon genggam. Ram seharusnya sudah me-
ngirimkan SMS lokasi pertemuan.
Baru saja loading telepon genggam selesai, satu panggilan
masuk berbunyi.
Nomor telepon satelit milik Kadek.
”Pak Thom!” Kadek berseru, suaranya setengah panik, se-
tengah lega. ”Saya telepon Pak Thom sejak satu jam lalu, tidak
masuk juga. Berkali-kali saya coba. Akhirnya...”
”Aku sedang di pesawat, Kadek, telepon kumatikan. Ada apa?”
Aku mendahului beberapa penumpang yang asyik bicara sambil
mendorong koper bagasi.
”Opa, Pak Thom. Opa semaput.”
Langkah kakiku tertahan.
”Kau bilang apa, Kadek?” Aku menelan ludah, ini berita
buruk.
”Opa semaput, Pak Thom. Saya, saya pikir tadi saat Pak
Thom dan yang lain tiba, Pak Thom sudah membawa keperluan
obat Opa. Di kapal sudah sejak sebulan lalu stok insulin habis.
Kadar gula Opa naik tajam, Opa hampir pingsan. Saya sungguh
minta maaf, lupa memberitahu Pak Thom.”
”Posisimu di mana, Kadek?” Aku memotong kalimat cemas
Kadek, sekaligus mengusir selintas pikiran betapa bodohnya
urusan ini. Seharusnya aku juga menyadari sejak berangkat dari
rumah peristirahatan, tas obat-obatan Opa harus dibawa. Semua
karena Rudi si bokser sialan. Gara-gara pasukan kecil dia, aku
melupakan detail kecil ini.
177
Isi-Negeri Bedebah.indd 177 7/5/2012 9:51:10 AM