Page 181 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 181
Tidak kutemukan. Jangan-jangan aku tidak menyimpan
nomor teleponnya.
Aku bergegas hendak menghubungi Maggie, dia bisa mencari
tahu segera.
Kakiku sudah tiba di lobi kedatangan yang gaduh. Orang-
orang berteriak, karton bertuliskan nama, tawaran taksi, semua
berkeliaran.
”Jangan bergerak!” Suara tegas dan dingin itu membekukan
lobi kedatangan.
Enam, sepuluh, tidak, lebih dari belasan polisi dengan pakaian
serbu lengkap sudah mengepungku. Mereka bermunculan dari
balik keramaian. Senjata mereka teracung sempurna padaku.
Aku berdiri termangu, menelan ludah.
Sebelum aku sempat bereaksi, bahkan berpikir harus melaku-
kan apa, salah satu dari mereka telah tangkas menyergap tangan-
ku. Telepon genggamku terjatuh. Aku terbanting duduk. Lututku
terasa sakit menghantam keramik lobi. Dalam hitungan detik
saja, tanganku sudah terborgol.
”Berdiri!” Moncong senjata laras panjang menyodok punggung-
ku.
Aku mengaduh pelan, patah-patah berusaha berdiri.
”Bergegas!” Dua petugas lain sudah kasar membantuku
berdiri, tidak sabaran.
Aku menelan ludah.
”Jalan, Bedebah!” Wajah dibungkus kedok itu terlihat dingin,
tanpa kompromi.
Aku mengangguk, melangkah menuju arah senjata teracung.
Situasi kali ini jauh lebih serius dibanding di rumah peristi-
rahatan Opa. Bukan karena jumlah mereka lebih banyak, bukan
179
Isi-Negeri Bedebah.indd 179 7/5/2012 9:51:10 AM