Page 202 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 202

IMA  menit  kemudian,  jarakku  sudah  cukup  jauh  dari
               markas polisi dan bangunan penjara sialan itu.
                 Motor yang kukemudikan menepi, aku bergegas menghubungi
               telepon satelit Kadek, tidak sabaran menunggu nada sambung.
               Lima  kali,  tujuh  kali,  sampai  habis,  tetap  tidak  diangkat.  Aku
               menelan ludah. Sekali lagi mengulanginya. Tetap tidak diangkat.
               Astaga. Gumam cemasku mengambang di langit gelap.
                 Baiklah,  aku  loncat  ke  atas  motor,  rahangku  mengeras,  me-
               macu  motor  secepat  yang  aku  bisa,  melesat  menuju  dermaga
               modern  dekat  Sunda  Kelapa.  Pukul  tiga  dini  hari,  jalanan
               lengang, menyisakan orang-orang yang pulang dari kafe, diskotek,

               dan tempat hiburan lainnya, selang-seling dengan mobil pickup
               dan gerobak sayur-mayur yang memenuhi pasar-pasar tradisio-
               nal, luber hingga ke jalan.
                 Aku tidak memedulikan kontras yang kulewati. Konsentrasiku
               ada di tangan, mata, dan kaki.
                 Dua puluh menit, dengan kecepatan tinggi motorku melintasi

                                         200




       Isi-Negeri Bedebah.indd   200                                 7/5/2012   9:51:11 AM
   197   198   199   200   201   202   203   204   205   206   207