Page 203 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 203
gerbang dermaga. Dua petugasnya yang selalu disiplin berjaga,
bergegas berdiri, hendak memeriksa, urung setelah melihat wajah-
ku. Mereka melambaikan tangan, membiarkanku lewat.
Aku tidak menghentikan kecepatan melintasi pelataran der-
maga yang licin. Belasan kapal pesiar kecil tertambat, bergoyang
anggun. Lampu di sepanjang dermaga menerangi dinding luar
dan tiang-tiang kapal. Sisanya lengang, hanya debur ombak me-
mukul dermaga. Angin bertiup pelan, bulan sabit menghias
langit. Pasifik tertambat paling ujung. Mataku segera membesar
melihat kapal itu. Aku berhenti persis di buritan, loncat dari
motor, dengan cepat naik ke atas kapal.
”Pak Thom.” Kadek yang lebih dulu menyapaku.
Aku sedikit tersengal, menatap ruang tengah kapal tempat
biasa berkumpul. Ada Om Liem, tidur di salah satu sofa, se-
limutnya berantakan.
”Di mana Opa?” aku menyergah.
”Easy, Pak Thom, Opa di kamar. Opa baik-baik saja, sedang
beristirahat. Mungkin dia sedang bermimpi indah naik kapal,
mengungsi dari negeri Cina puluhan tahun silam.” Kadek me-
nyengir.
Aku mengembuskan napas lega, mengabaikan gurauan Kadek.
Astaga, ini kabar terbaik yang kudengar seminggu terakhir, me-
ngalahkan apa pun. Aku menunduk, masih berusaha me-
ngendalikan napas.
”Selepas menelepon Pak Thom, saya memutuskan untuk
segera mencari bantuan.” Kadek berbaik hati menjelaskan dan
mengambilkan teko air dari kulkas. ”Daripada harus ke dermaga
yang masih sembilan kilometer, butuh waktu lima belas menit,
saya memilih merapat ke salah satu kapal besar yang sedang
201
Isi-Negeri Bedebah.indd 201 7/5/2012 9:51:11 AM