Page 255 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 255
sia! Maka berhentilah bertingkah kekanak-kanakan, mari kita
bicara baik-baik.”
Ruangan besar kembali senyap.
Aku menahan napas.
Pertemuan ini sebenarnya berjalan sesuai dugaanku. Persis
aku masuk ruangan, mereka sudah berteriak marah, dan lebih
marah lagi saat aku mulai bicara tentang kemungkinan Bank
Semesta ditutup. Lima menit berlalu, hanya soal waktu salah
satu nasabah akan berusaha meninju wajahku, pertemuan men-
jadi gaduh. Jadi, aku harus bergerak cepat.
Adegan melempar guci tadi sepertinya kurang lugas dan
meyakinkan, maka aku mencabut revolver di pinggang. Beberapa
nasabah berseru tertahan melihat senjata itu teracung. Dua-tiga
orang malah refleks melangkah mundur. Aku tidak peduli, me-
langkah maju, menyerahkan pistol itu ke tangan nasabah sete-
ngah baya berbadan kekar yang berdiri paling dekat.
”Nah, kau tembak saja kepalaku, uangmu tetap tidak akan
kembali!” aku berkata datar dan tajam, memasangkan gagang
pistol ke dalam tangannya.
”Ayo, tembak saja!” aku menyuruh, mengarahkan tangan yang
memegang pistol ke kepalaku. Moncong S&W itu persis di dahi-
ku sekarang.
Wajah-wajah tidak sabaran itu dengan cepat berubah pucat.
Nasabah ibu-ibu menutupi wajahnya dengan tas bermerek atau
kedua belah telapak tangan. Cemas. Satu-dua malah berteriak
panik, berseru ”jangan” atau ”hentikan”.
”Tembak saja!” aku justru membentak.
Setengah menit senyap.
253
Isi-Negeri Bedebah.indd 253 7/5/2012 9:51:12 AM