Page 256 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 256
Nasabah itu menggeleng, mengembuskan napas. Tangannya
yang memegang pistol terkulai. Tatapan galak itu telah luntur.
Delapan menit sejak pertemuan dimulai, aku akhirnya
menguasai situasi. Ini rekor terlamaku mengendalikan sebuah
pertemuan.
”Kami hanya ingin uang itu kembali, Pak Thom,” nasabah
setengah baya berbadan tegap itu berkata pelan. ”Saya lama se-
kali mengumpulkannya. Itu uang pensiun saya setelah berpuluh
tahun menjadi tentara. Uang sekolah anak-anak yang masih re-
maja, biaya makan kami, biaya berobat. Pak Thom pastilah tahu,
bahkan untuk pensiunan tentara, meski jenderal sekalipun, uang
pensiun dari pemerintah tidak memadai.”
Nasabah lain mengangguk—meski tidak bergumam ribut
lagi.
”Baiklah. Kalau demikian, kita bisa bicara baik-baik seka-
rang.”
Aku memasang kembali revolver ke pinggang, menatap wajah-
wajah di sekitarku dengan tatapan pura-pura bersimpati. Peduli
setan dengan rasa simpatiku. Di ruangan ini banyak sekali
nasabah yang tidak masuk akal bisa memiliki deposito puluhan
miliar.
”Nah, seperti yang telah kusampaikan dalam kalimat pembuka
pertemuan kita tadi, aku konsultan keuangan profesional. Aku
ditunjuk mewakili Om Liem untuk melakukan negosiasi dengan
otoritas yang memutuskan apakah Bank Semesta ditutup atau
tidak sebelum pukul 08.00 besok.” Aku memasang wajah tegak,
menatap seluruh peserta pertemuan.
”Kabar buruknya, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, menurut perhitung-
an serta penilaian profesionalku, Bank Semesta bahkan seharus-
254
Isi-Negeri Bedebah.indd 254 7/5/2012 9:51:12 AM