Page 267 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 267
”Aku harus melewati beberapa prosedur sebelum memberikan
nomor kontaknya, Thom. Kau tahu, ini tidak seperti memberi-
kan nomor telepon artis idola atau pengarang kesayangan, atau
nomor telepon terapis langgananmu. Lagi pula, kabar buruknya,
dia tidak otomatis mengangkat setiap telepon yang masuk. No-
mormu tidak dikenali, mau kau telepon belasan kali, jangan ha-
rap dia angkat, dilirik pun tidak,” Erik menjawab dengan lo-
gika.
Aku terdiam sejenak. Benar juga.
”Nah, kabar baiknya, aku baru saja menelepon dia lima menit
lalu, memberitahukan ada teman klub petarung yang ingin meng-
hubungi, membicarakan sesuatu yang amat penting. Dia bersedia
kauhubungi, tapi tidak lewat telepon, Kawan. Riskan sekali me-
lakukan pembicaraan sensitif lewat telepon. Dia menyediakan
waktu untuk pertemuan langsung. Kabar baik, bukan?” Erik
tertawa.
Aku mengepalkan tinju, senang mendengarnya.
”Ini jelas lebih baik, Erik. Terima kasih banyak. Kau memang
teman yang baik.”
”Berterima kasih saja tidak cukup, Thom. Kau harus mencium
kakiku.” Erik masih tertawa. ”Meminta jadwal pertemuan dengan
putra mahkota tidak pernah mudah. Aku harus meyakinkannya
berkali-kali bahwa kau akan membicarakan sesuatu yang sangat
penting.”
”Di mana pertemuannya?” Aku mengabaikan kalimat Erik dan
tawanya, bergegas memastikan.
”Nanti sore pukul empat di Denpasar. Dia dan petinggi partai
politiknya sedang di sana, urusan partai, membuka munas,
musda, atau apalah.”
265
Isi-Negeri Bedebah.indd 265 7/5/2012 9:51:12 AM