Page 268 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 268
Aku mengembuskan napas. ”Tidak bisakah dia ke Jakarta?
Jadwalku ketat sekali sebelum besok pagi kantor buka.”
Erik tertawa menyebalkan. ”Kau gila, Thom. Kau pikir dia
klien, teman kantor, atau siapalah yang bisa kau suruh-suruh
selama ini. Esok lusa boleh jadi kau melihatnya di televisi sedang
pidato kenegaraan, dan kita tidak bisa lagi memanggil namanya
langsung tanpa sebutan ’Bapak’.”
Aku menelan ludah. ”Aku hanya bergurau, Erik. Kau tidak
pernah mengerti sarkasme, entah itu di rapat-rapat atau bahkan
dalam percakapan telepon sekalipun. Aku bisa ke Denpasar
nanti sore pukul empat, itu hanya perjalanan dua jam. Terima
kasih sudah membantuku.”
”Simpan saja terima kasihmu sekarang, Thom. Aku akan
menagihnya di waktu yang tepat, permintaan yang tepat, dan
harga yang mahal.” Erik terkekeh.
”Aku akan membayarnya. Pegang janjiku.”
”Great. Adios, Kawan.”
”Sebentar, Erik,” aku mencegah Erik menutup telepon, teringat
sesuatu. ”Tadi kau bilang tidak mudah bertemu dengannya, lan-
tas bagaimana kau hanya butuh waktu lima menit untuk me-
yakinkan dia?”
”Itu gampang, Thom. Aku tiru mentah-mentah trikmu selama
ini. Kubilang, orang ini, yang meminta jadwal bertemu, hendak
menyumbang sepuluh miliar untuk dana partai. Brilian, bukan?
Dia bahkan lupa untuk bertanya siapa namamu. Nah, selamat
berlibur. Jangan lupa bawa sunblock atau papan selancar. Selamat
bertemu dengannya, Thom. Ingat, kau harus sopan. Dia amat
sensitif. Maklumlah, anak muda yang tiba-tiba kejatuhan bulan,
kekuasaan besar di tangan, banyak sekali penjilat di sekitarnya.
266
Isi-Negeri Bedebah.indd 266 7/5/2012 9:51:12 AM