Page 39 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 39
berbintang enam sekalipun, suara dering telepon di kamar selalu
saja standar, mendengking-dengking berisik. Tidak adakah
manajer keramahtamahan kelas dunia punya ide mengganti nada
dering dengan irama lagu jazz atau yang lebih ramah didengar,
atau sekalian menyediakan opsi pengaturan dengan nada getar
atau beep kecil? Mereka sepertinya lebih sibuk meletakkan
bebek-bebekan kuning di kamar mandi, buku petunjuk wisata
kota penuh iklan, atau ide sampah macam surat selamat datang
yang ditandatangani massal. Atau salahku pula, mengapa tidak
mencabut kabelnya sebelum tidur.
”Maaf, Pak...”
”Kau tahu ini pukul berapa, Shiong?” Sialan, aku mengenali
suaranya.
”Eh? Pukul...”
”Ini lewat tengah malam, Shiong. Bukankah aku tadi berpesan
tolak semua telepon ke kamarku!” aku berseru marah.
”Maaf, Pak. Ini mendesak.”
”Persetan! Bahkan seandainya besok dunia tenggelam oleh air
bah Nabi Nuh, aku tak peduli!” Aku mengutuknya, bersiap
menumpahkan kosakata makian beradab yang kumiliki, namun
urung. Pintu kamarku telanjur diketuk.
Apa lagi? Aku menoleh.
”Ada yang memaksa bertemu Bapak. Saya sudah bilang Bapak
perlu istirahat, mereka memaksa naik ke atas. Saya tidak bisa
menahannya, tidak ada petugas yang berani menahannya, Pak.
Saya harus memberitahu Bapak, setidaknya sebelum mereka
tiba.” Shiong bergegas menjelaskan, dengan intonasi hasil didikan
keramahtamahan kelas dunia belasan tahun.
37
Isi-Negeri Bedebah.indd 37 7/5/2012 9:51:07 AM