Page 42 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 42
***
Mobil melesat kencang. Jalanan Jakarta lengang, pukul dua dini
hari, jika nekat kalian bisa memacu kecepatan hingga 120 km/
jam di jalan protokolnya.
”Kau mengikuti berita-berita?”
Aku mengangguk. Aku duduk di kursi belakang, mendengar-
kan penjelasan.
”Baguslah. Aku jadi lebih mudah menjelaskannya. Bagai raja
catur yang dikepung banyak musuh, Om Liem terdesak. Se-
minggu lalu otoritas bank sentral sudah memberikan peringatan
ketiga untuk bank miliknya, dan tadi siang, sialnya mereka meng-
umumkan bahwa bank milik Om Liem tidak bisa menutup
kliring antarbank. Itu membuat kepanikan, padahal kau tahu,
hanya kurang lima miliar saja. Mereka umumkan atas nama
transparansi. Kau tahu akibatnya, saham Bank Semesta dihenti-
kan perdagangannya di bursa, suspended. Nasabah panik, antrean
panjang terbentuk di setiap cabang tadi sore. Dan di tengah
krisis dunia, sedikit saja informasi negatif, semua orang panas-
dingin.” Ram yang duduk di sebelahku menghela napas.
”Aku belum tahu soal kalah kliring,” aku bergumam.
Sopir sepertinya tidak mengurangi kecepatan, mobil meliuk
menaiki fly over.
”Tentu saja belum. Kau baru pulang dari London tadi sore,
bukan? Beruntung ini hari Jumat, jadi kita semua punya waktu
dua hari untuk menghadapi nasabah yang panik Senin lusa.
Situasinya sudah kacau-balau, Thom. Jika rush terjadi, semua
nasabah berbondong-bondong menarik tabungannya. Bank
Semesta pasti kolaps. Bahkan jika seluruh aset dijual dan
40
Isi-Negeri Bedebah.indd 40 7/5/2012 9:51:07 AM