Page 406 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 406
santai berpindah topik cerita, favoritnya apalagi kalau bukan,
”Nah, Tommy, kau mau mendengar sesuatu yang paling menye-
ramkan dari kisah pengungsian Opa dulu? Sesuatu yang amat
Opa takutkan selama berada di kapal nelayan bocor?” Opa ter-
tawa saat aku menolak halus. ”Ini sesuatu yang berbeda, Tommy.
Bukan badai, bukan monster, bukan perompak, bukan pula ka-
pal penjajah yang nelayan-nelayan itu takutkan. Sesuatu yang
lebih seram lagi. Kau mau dengar?”
Aku tahu tentang apa yang ditakutkan pelaut, nelayan yang
dimaksudkan Opa setelah aku kuliah bisnis. Dan Opa kehi-
langan salah satu trik favoritnya. Lagi pula, ayolah, saat itu usia-
ku sudah dua puluh tahun lebih, banyak cerita berulang-ulang
Opa seperti kaset rusak yang tidak lagi relevan.
Aku tiba di Singapura pukul tiga pagi. Akhirnya pesawat itu
mendarat. Aku berlari kecil menuju lobi bandara, meneriaki
sembarang taksi, menyebut dermaga yacht, tempat biasa Pasifik
merapat di Singapura setiap kali melewati perairan Semenanjung
Malaka. Aku tiba di dermaga itu lebih cepat dibanding Kadek.
Pasifik baru tiba satu jam kemudian, hampir pukul lima pagi.
Semburat cahaya matahari menerpa ujung-ujung kapal, pucuk-
pucuk menara beton. Aku mendesah resah tidak sabaran me-
natap Pasifik yang mendekat gagah, moncong palka depannya
begitu elok. Pasifik kapal kesayangan Opa dibuat selama dua
tahun di galangan kapal terbaik dengan supervisi langsung
Opa.
Dermaga yacht sepi, masih terlalu pagi untuk memulai hari di
Singapura—meskipun ini hari Senin. Belasan kapal pesiar ukur-
an sedang dan kecil tertambat, tiang kapalnya mengangguk-
angguk anggun dengan latar suara burung pelikan. Lampu jalan-
404
Isi-Negeri Bedebah.indd 404 7/5/2012 9:51:15 AM