Page 76 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 76
datang ke sini, berkemah, memancing, berburu, mengebut
dengan speedboat, atau sekadar bengong duduk di beranda
dermaga, menatap senja bersama Opa yang pat-pet-pot me-
mainkan alat musik. Lantas Opa akan mulai bercerita, yang
ceritanya itu-itu saja, seperti kaset rusak.
Aku pelan menjawil lengan Om Liem, membangunkan.
Ambulans yang kukemudikan persis memasuki gerbang halaman.
Lengang. Hanya beberapa tukang kebun—yang merupakan pen-
duduk sekitar waduk—terlihat sibuk menyalakan mesin pe-
nyiram otomatis, belasan jumlah slangnya, muncrat tinggi-tinggi,
membuat halaman seperti dipenuhi hujan lokal.
”Kita sudah sampai?” Om Liem membuka mata.
Aku tidak menjawab, memarkir ambulans di halaman bela-
kang yang menghadap waduk. Sepagi ini, Opa pasti sedang
duduk menghabiskan secangkir teh hijau sambil berkutat dengan
not-not balok.
***
”Kau tidak sarapan sebentar, Tommi?” Opa menatapku arif, ter-
senyum.
”Ada banyak yang harus kubereskan.” Aku hanya mengantar
Om Liem memasuki halaman belakang, langsung bersiap balik
kanan. ”Mobilku yang lama masih ada?”
”Tentu saja masih.” Opa tertawa. ”Tidak ada yang jail belajar
mengemudi dengan mobil itu, lantas tidak sengaja justru
menenggelamkannya ke waduk.”
Aku ikut tertawa. Opa suka sekali mengenang kejadian
lama.
74
Isi-Negeri Bedebah.indd 74 7/5/2012 9:51:08 AM