Page 78 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 78
tangan. Aku hanya mengangguk, menyeringai menatap kasihan
Om Liem. Satu jam ke depan, selama menemani Opa sarapan,
pastilah Om Liem terpaksa mendengar Opa bercerita sambil
manggut-manggut sopan.
***
”Kau tahu, Tommi, usia Opa baru lima belas saat datang dari
pesisir Cina, menumpang perahu penuh tambalan, berlayar
seadanya, bersama puluhan perantau yang mencari dunia baru,
mencari kehidupan terjanjikan. Kami nyaris tenggelam di per-
airan Malaka jika tidak ditolong kapal nelayan, hingga akhirnya
berhasil merapat di negeri yang sedang mengalami perang revo-
lusi. Di radio-radio terdengar ceramah bersemangat pemuda
bernama Soekarno. Dentuman granat dan suara tembakan me-
menuhi langit-langit kota. Opa bagai lepas dari mulut macan,
masuk perangkap buaya.
”Tetapi Opa benar, Tommi, ini tanah yang dijanjikan. Lima
belas tahun berlalu, umur Opa tiga puluh saat menikah dengan
Oma. Malam pengantin kami dihiasi dengan pidato tentang
dekrit presiden. Saat itu Opa baru menjejak kehidupan yang
baik. Setelah bertahun-tahun menjadi pedagang keliling, buruh
seadanya, pembantu juragan besar, Opa akhirnya punya toko
tepung terigu kecil di pojokan jalan. Tidak ramai, cukup untuk
menghidupi dua anak Opa. Papamu Edward dan pamanmu Om
Liem.”
Ini dua paragraf standar pembuka cerita Opa. Aku yang
masih berusia belasan tahun bergegas memasang wajah ter-
tarik—karena setiap selesai cerita, kalau Opa merasa kita telah
76
Isi-Negeri Bedebah.indd 76 7/5/2012 9:51:08 AM