Page 82 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 82
banyak orang dengan berjualan terigu!” Om Liem balas ber-
seru.
Malam itu rapat keluarga. Opa, Mama, dan Tante Liem ikut
bicara.
Opa yang sejak tadi mendengarkan, meletakkan klarinet,
akhirnya berkata, ”Cukup, Liem. Dewa Bumi memberikan rezeki
berkelimpahan untuk keluarga kita. Saat terkatung-katung di
kapal bocor empat puluh tahun silam, aku tidak pernah mem-
bayangkan akan memiliki keluarga sebaik ini.”
Mama dan Tante Liem juga sependapat. ”Opa benar. Kita
tidak perlu memaksakan diri.”
Empat lawan satu, keputusan diambil.
Om Liem tetap memulai cara baru, meski empat suara jelas-
jelas menentangnya.
Aku tidak tahu benar apa nama cara baru itu. Koperasi
bukan, bank bukan, simpan-pinjam jauh, utang-piutang apalagi.
Tapi soal ide bisnis canggih, Om Liem nomor satu. Tahun 80-
an, saat bank masih hitungan jari, saat akses modal terbatas,
Om memasang papan besar bertuliskan: ”Arisan Berantai Liem-
Edward” di depan gerbang rumah kami.
”Penjelasannya mudah saja,” begitu Om Liem setiap kali
memulai pertemuan di ruang tamu. Hari itu, hari pertama,
hanya tiga kolega bisnisnya yang datang, bersedia mendengarkan
gagasannya. ”Kami butuh modal untuk menggelindingkan bisnis
yang lebih besar. Kami akan memulai berdagang gandum, jagung,
obat-obatan, semen, lempeng logam, keramik, sabun, semua ke-
butuhan. Orde Lama sudah mati, Orde Baru tumbuh megah.
Negeri ini sedang berlari. Pemerintah punya uang banyak dari
minyak, dan mereka butuh barang-barang, apa saja untuk meng-
80
Isi-Negeri Bedebah.indd 80 7/5/2012 9:51:08 AM