Page 77 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 77
”Opa taruh di garasi, tanyakan pada bujang kuncinya. Ayolah,
kita minum teh sebentar. Mobilmu itu setidaknya perlu dipanas-
kan.”
Aku menggeleng, mengangkat pergelangan tangan. ”Waktuku
tinggal 49 jam 45 menit hingga bank dan kantor-kantor buka
pukul 8 hari Senin lusa, Opa. Aku harus bergegas kembali ke
Jakarta. Titip dia, sudah terlalu banyak kekacauan yang dia buat,
pastikan dia tidak menambahkannya lagi satu.”
Opa tertawa lagi. ”Baiklah, Tommi. Terlepas dari aku belum
tahu apa yang telah terjadi, aku sebenarnya senang sekali melihat
kalian berdua beriringan memasuki halaman rumah beberapa
menit lalu, terlihat kompak. Kalian bahkan sudah lama tidak
bertemu. Hati-hati, Nak, jangan lupa makan.”
Aku mengangguk, balik kanan menuju garasi mobil yang
terpisah dari bangunan induk. Saatnya berganti kendaraan yang
lebih memadai, aku butuh mobil tercepat untuk kembali ke
Jakarta.
Opa adalah kolektor mobil yang baik—meski tampilannya
bersahaja. Koleksinya tidak banyak, tapi berkelas. Opa paling
suka mobil Eropa. Salah satu koleksinya adalah seri merek mobil
yang memenangkan Grand Prix Monaco untuk pertama kali.
Salah satu bujang mengantarkan kunci. Aku melepas cover mobil-
ku, bersiul. Ini mobil seri kesekian dari merek yang sama. Opa
mengoleksinya karena legenda hidup formula satu juga punya.
Mobil ini kesayangan Opa. Saking sayangnya, dia jadikan mobil
ini sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-17 lima belas tahun
silam—perayaan yang justru tidak kuhadiri, ada ujian sekolah.
Setengah menit, mobil bertenaga itu sudah melesat meninggal-
kan garasi, melintasi halaman belakang. Opa melambaikan
75
Isi-Negeri Bedebah.indd 75 7/5/2012 9:51:08 AM