Page 33 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 33

“Berbulan-bulan  Sie  merawat  suaminya  dengan  tulus.  Proses  rehabilitasi  kecanduan.

               Lelah mengurus bisnisnya, capai mengurus tingkah anaknya, sering dia ditemukan jatuh
               tertidur  di  ranjang  tempat  suaminya  berbaring  lemah.  Rambut  Sie  yang  dulu  hitam

               legam  mulai  beruban.  Wajahnya  yang  dulu  periang,  mata  sipit  bersinar-sinar,  tinggal

               gurat muka penuh ketabahan dan sorot mata tulus. Tubuhnya yang dulu ramping, tinggi
               semampai, sekarang bungkuk, kaki pincang sisa pukulan-pukulan kasar suaminya. Janji

               itu luar biasa, janji itu macam mercu suar di pinggiran kota Taiwan, dia sungguh akan

               mencintai  suaminya  apa-adanya.  Maka  bulan-bulan  perawatan  itu  menjadi  simbol
               paling  agung  rasa  cinta  Sie.  Tidak  ada  kebencian,  tidak  ada  penyesalan.  Astaga,

               seandainya kita bisa melihat wajah Sie saat merawat suaminya. Janji itu sungguh luar-

               biasa.” Pak Tua menyeka ujung mata, sedikit terharu.


               Andi malah kedat hidung.


               Aku menyikut Andi pelan, kau tidak akan menangis, kan?



               Andi melotot, enak saja.


               “Kalian  tahu,  Andi,  Borno?  Apakah  kau  bisa  memaksa  perasaan  cinta?  Sie  bisa
               melakukannya. Dia bisa membuat suaminya mencintai dia apa-adanya, bahkan walau

               sebelumnya Wong Lan amat membencinya. Di malam kesekian masa-masa rehabilitasi,

               ketika Wong Lan terjaga, saat dia menatap wajah lelah istrinya yang jatuh tertidur di
               pinggir ranjang, perasaan itu mulai tumbuh kecambahnya. Lihatlah, wanita yang selama

               ini  dia  sakiti,  tega  dia  beli  lantas  dibawa  pergi  jauh  dari  rumahnya,  wanita  yang  dia

               renggut  dari  masa  remajanya  yang  indah,  begitu  tulus  merawat  dirinya  enam  bulan
               terakhir.  Wong  Lan  tergugu,  menyentuh  bekas  carut  luka  di  kening  istrinya,  luka  itu

               bekas lemparan asbak darinya.


               “Tangan Wong Lan gemetar menyentuh rambut beruban Sie, lihatlah, wajah teduh ini,

               wajah penuh kasih-sayang istrinya. Ini tetap wajah yang sama meski dulu dia lempar,
               dia  injak,  wajah  yang  sama  meski  dulu  dia  kutuk  wanita  pembawa  sial.  Wong  Lan

               menangis dalam diam, terisak dalam senyap. Alangkah bodoh dirinya selama ini. Bodoh

               sekali.  Disangka  teman-temannya  akan  selalu  ada,  itu  dusta.  Disangka  semua
   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37   38