Page 28 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 28

“Tidak ada di keluarga itu yang menghargai Sie, termasuk pembantu sekalipun. Sopir,

               tukang  kebun,  tukang  pel,  di  belakang  sibuk  memonyongkan  bibir  tanda  tidak  suka,
               “Istri  belian,  wanita  murahan,  statusnya  lebih  rendah  dibanding  kita.”  Membiarkan

               gadis usia enam belas itu berjuang sendiri melakukan penyesuaian. Negeri baru, iklim

               baru, musim panas, musim dingin, musim semi, mana ada salju di Singkawang? Aksen
               dan  kosakata  mandarin  yang  berbeda,  racikan  bumbu  masakan  yang  berbeda,  cara

               berpakaian yang berbeda, semuanya berbeda.


               “Dua tahun berlalu, dengan pengalaman mengasuh enam adiknya selama ini, setidaknya

               Sie  cukup  tangguh.  Wong  Lan  juga  belum  menyakiti  Sie  secara  fisik,  orang-orang  di

               rumah meski tidak respek, tidak berani menunjukkan rasa benci secara terbuka. Dua
               tahun  itu,  Sie  menyibukkan  diri,  belajar  menjadi  istri  yang  baik,  melakukan  apa  saja

               yang  bisa  dia  kerjakan,  melayani  suami  sebaik  mungkin,  menyiapkan  baju,

               memasangkan  dasi,  menyemir  sepatu,  berlarian  membawa  tas  kerja,  menyiapkan
               makanan,  merapikan  tempat  tidur.  Memasang  wajah  riang,  tidak  peduli  meski  Wong

               Lan melempar piring, mencaci masakannya, tidak peduli walau Wong Lan merenggut

               dasi yang  dipasangkan, menginjak tangannya  saat  melepas  sepatu. Sie sudah berjanji
               pada Ibu, dia akan mencintai suaminya apa-adanya.


               “Nah, bicara tentang Ibu, persis di penghujung tahun kedua, sepucuk telegram terkirim

               dari Singkawang, isinya pendek: Tadi malam kma senin kma tanggal dua satu bulan lima

               kma pukul delapan ttk tiga puluh kma Ibu meninggal di RSU ttk tidak perlu dicemaskan
               kma Ibu akan segera dikebumikan esok pagi kma peluk sayang dari adik adikmu ttk hbs.



               “Kelu bibir Sie Sie membaca telegram itu. Uang memang berhasil memperpanjang usia,
               tapi  takdir  tidak  pernah  terkalahkan.  Sie  ingin  pulang  ke  Singkawang,  setidaknya

               melihat  pusara  merah  Ibunya.  Sie  rindu  adik-adiknya.  Sie  juga  rindu  memeluk
               Bapaknya. Apalah yang bisa dia lakukan? Di rumah besar itu, sepeser uang pun dia tidak

               pegang,  paspor,  surat-menyurat  terkunci  rapat  di  lemari  besi  Wong  Lan.  Apakah  dia

               akan menunjukkan telegram itu pada suaminya? Wong Lan tidak pernah peduli urusan
               Sie, ekspresi wajahnya selalu sama, menyingkir, urus saja diri kau sendiri.
   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33