Page 30 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 30

Wong Lan tidak peduli perut istrinya semakin membesar, tidak peduli wajah berseri-

               seri istrinya, yang tetap sungguh-sungguh melayani dan berusaha membatalkan seluruh
               proses pengadilan.



               “Usia bayi mereka satu bulan saat Wong Lan dibebaskan. Setidaknya, dengan kehadiran
               bayi di rumah, walau mulutnya tetap kotor, Wong Lan berpikir dua kali untuk memukuli

               Sie. Anak pertama mereka laki-laki, tampan macam Bapaknya, rambutnya lurus hitam

               legam seperti Ibunya. Wong Lan tidak peduli, sama tidak pedulinya meski nama anak itu
               mewarisi namanya. Dia jarang ada di rumah, selalu pergi, dan saat pulang, mulutnya bau

               alkohol,  pakaiannya  kusut,  rambutnya  berantakan,  dan  selalu  berteriak-teriak.  Wong

               Lan tidak memenuhi kebutuhan Sie dan bayi mereka, dia sendiri saja menjual hampir
               seluruh harta benda yang ada. Kebiasaan judinya datang tak tertahankan, satu persatu

               perabotan digadaikan. Tinggallah Sie yang harus menanggung keperluan, susu si kecil,

               kebutuhan rumah tangga. Kabar baik, dia pernah melakukannya di Singkawang, waktu
               usianya  enam  belas,  tidak  masalah  dia  melakukannya  sekali  lagi  di  Taiwan.  Sie

               menerima  pesanan  jahitan,  membuat  poster,  berkeliling  dari  pintu  ke  pintu  sambil

               menggendong si kecil, menawarkan jasa membuat baju.


               “Dua tahun bertahan hidup, Sie hamil lagi, bayi kedua. Percuma, Wong Lan tetap tidak
               peduli,  hatinya  tidak  tersentuh,  dia  asyik  dengan  dunianya  sendiri,  terakhir  terbetik

               kabar  dia  menjual  seluruh  bangunan  dan  tanah  pabrik.  Uang  itu  sebenarnya  cukup

               banyak,  tapi  hanya  habis  dalam  hitungan  minggu.  Habis  di  meja  judi,  penginapan,
               tempat  hura-hura.  Wong  Lan  merasa  dunianya  kembali,  teman-teman  seperti  laron

               datang  merubung,  dia  lupa,  saat  uangnya  habis,  dia  kembali  sendirian  di  meja-meja

               minum, sepi di tengah keramaian pub.


               “Enam tahun berlalu, bayi ketiga dan keempat lahir, kembar. Lucunya tak terkira, amat
               menggemaskan. Sia-sia, Wong Lan tetap tidak peduli, mengunjungi Sie di rumah sakit

               pun  tidak.  Dia  baru  saja  menggadaikan  rumah  besar,  harta  terakhir  warisan  orang-

               tuanya.  Bersenang-senang  dengan  tumpukan  uang  yang  dengan  cepat  menipis.
               Tinggallah  Sie  repot  mengurus  empat  anaknya,  berusaha  mencari  tempat  berteduh

               sementara. Untuk kedua  kalinya Sie Sie ditampung keluarga  konsulat. Salah-satu staf

               konsulat  menasehati  Sie  agar  menghentikan  pernikahan  itu,  minta  cerai.  Semua
   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35