Page 35 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 35

3.  PERCAYAKAH KAU PADAKU








               Buat  apa  cinta  jika  kau  tidak  percaya  padaku,  buat  apa  sayang  jika  kau  terus
               berprasangka yang bukan-bukan.



               Cindanita,  maafkan  Ayahmu,  semua  ini  harus  berakhir  menyakitkan.  Menatap
               pusaramu,  Nak,  meskipun  kejadian  itu  sudah  lima  belas  tahun  lalu  tertinggal,  rasa-

               rasanya  baru  kemarin  terjadi.  Hari  ini,  kau  seharusnya  sudah  seperti  gadis  remaja

               kebanyakan, pasti cantik dengan rambut panjang hitam legam, mata hitam bundar, pipi
               memerah  berlesung,  dan  hidungmu,  persis  seperti  ibumu,  mancung  seperti  hadiah

               terbaik Tuhan untuk anak yang manis dan penurut.


                Maafkan Ayahmu, Nak, semua janji masa depan itu tidak terwujud, hancur berkeping-

               keping  dibawa  kepergian  Ibumu.  Maafkan  Ayahmu,  Cindanita.  Seusiamu  sekarang,
               enam  belas,  kau  pasti  belum  paham,  bahwa  pondasi  terbesar  perasaan  cinta,  selain

               komitmen adalah kepercayaan. Tanpa sebuah kepercayaan yang utuh, maka dia hanya

               ibarat  malam tanpa  lampu, kau tersuruk tanpa  arah. Ibarat  kapal  tanpa  kompas, kau
               tersesat semakin dalam di lautan perasaan. Atau jangan-jangan kau sudah paham, Nak?

               Aku  menyeka  ujung  mata,  mendongak.  Kabut  mengambang  di  pekuburan  kota,

               membuat  pohon  kamboja  terlihat  seperti  bayang-bayang  syahdu,  berpadu  dengan
               pusara-pusara tinggi. Matahari hampir tenggelam di kaki langit, menyisakan semburat

               merah, suasana ini sama benar dengan waktu kau dikebumikan, Cindanita. Juga sama

               benar saat Ibumu pergi.


                Lihatlah, Ayah pulang, Nak, menjengukmu sesuai janji setelah setahun lagi berlalu. Aku

               tersenyum, mengusap lembut pusara berlumut di hadapanku. Sebenarnya, tidak pernah
               mudah  mengunjungi  kembali  kota  ini,  bukan  karena  jaraknya  amat  jauh  dengan

               tempatku  menetap  sekarang,  Nak,  tapi  dengan  kembali  itu  sama  saja  seperti  melihat
               seluruh  kenangan  itu  diputar  di  pelupuk  mata,  tanpa  kurang  satu  adegan  manapun.

               Walaupun  hanya  mampir  sebentar,  hanya  sesore,  sekelebat  berjalan  di  jalanan  kota

               yang tidak ada lagi warga yang masih mengingat Ayahmu, semua kenangan itu masih
   30   31   32   33   34   35   36   37   38   39   40