Page 27 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 27

menunggu  di  dalam.”  Sie  justeru  sedang  membujuk  mati-matian  agar  dirinya  berdiri

               tegar,  “Siapa  yang  bernama  Sie  Sie?  Waktu  bezuk  hanya  setengah  jam?”  Petugas
               berteriak,  kepalanya  melongok.  Sie  menggigit  bibir  sampai  terasa  asin,  dia  ingin

               bertemu Bapaknya sebelum pergi jauh, ingin mengabarkan keputusan itu, meminta doa

               restu. “Woi, mana yang namanya Sie Sie? Aku tidak akan menunggu seharian di sini, ada
               banyak  urusan  lebih  penting.”  Petugas  mendengus  marah.  Sie  sudah  menangis,  dia

               berlarian sepanjang lorong, kakinya berkhianat, menyuruh menyingkir sejauh mungkin.

               “Kalian tahu, dari ketinggian  langit, tidak macam penumpang yang  pertama  kali naik
               pesawat terbang, antusias melihat cakrawala luas, awan-awan putih, Sie hanya menatap

               kosong batas pulau Kalimantan. Entah di mana Singkawang, di mana Pontianak, di mana

               kotanya,  yang  terlihat  hanya  kontras  warna  biru  gelap  dan  biru  muda  yang  semakin
               memudar. Dia sudah ribuan kilometer meninggalkan tanah kelahiran. Sie Sie menyeka

               ujung mata, dia berjanji, ini untuk terakhir kalinya dia menangis, tidak, dia tidak akan

               lagi  menangis  apapun  yang  terjadi.  Dia  berjanji  sungguh-sungguh,  menyeka  ingus.
               Sementara suaminya, Wong Lan, sejak pesawat lepas landas mendengkur tidak peduli di

               kursi sebelah.”


               Pak Tua diam sebentar, menghela nafas.


               Aku dan Andi ikut menghela nafas.



               “Mereka tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, juga tidak banyak bicara saat tiba di
               rumah  keluarga  Wong.  Tidak  ada  acara  menyambut  menantu,  tidak  ada  kerabat,

               tetangga  bahkan  pembantu  yang  tahu  mereka  datang.  Peduli  Wong  Lan  hanya  satu,

               mengundang pengacara sesegera mungkin, memperlihatkan Sie Sie, surat menyurat dan
               bukti  dokumen  pernikahan  sah.  Syarat  telah  dipenuhi,  harta  warisan  keluarga  resmi

               menjadi  milik  Wong  Lan.  Senang  bukan  kepalang  pemuda  Taiwan  itu,  hingga  tidak
               peduli mau apa, hendak apa, dan siapa Sie Sie baginya. Cuma pada pengacara itu Wong

               Lan mengaku Sie istrinya, sedangkan pada tamu yang berkunjung, teman yang datang,

               Wong santai bilang kalau Sie adalah pembantu impor dari Indonesia, “Gajinya murah,
               cukup  diberi  makan  tiga  kali  sehari.  Sudah  senang  dia.  Kau  mau  kucarikan  satu?”

               Bergaya Wong Lan menunjuk-nunjuk jidat Sie Sie.
   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32