Page 24 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 24

“Wong Lan tidak jelek, apalagi buncit. Dia tampan, kacik sedikit dibanding ketampanan

               kau, Andi.” Pak Tua bergurau, tertawa, “Tetapi perangainya buruk. Apalagi dari awal,
               niat pernikahan itu sudah tak lurus. Dia mencari istri sekadar memenuhi syarat agar

               harta  warisan  jatuh  padanya.  Pemuda  itulah  yang  ditemui  Sie  Sie  di  kamar  hotel.

               Karyawan  penginapan  yang  menemani  wawancara  berbisik  kalau  yang  satu  ini
               sepertinya memang masih gadis, bukan amoy tipuan seperti yang sebelumnya. Berbisik

               ini, berbisik itu.


               “Dalam pertemuan lima belas menit itu, Sie hanya sekali menatap wajah Wong Lan, dan

               sekujur tubuhnya berontak, dia hampir muntah menahan rasa benci atas apa yang telah

               dilakukannya.  Hanya  karena  bayangan  wajah  Ibunya  yang  sekarat,  membuat  Sie
               bertahan. Sie mendengar syarat-syarat yang disampaikan oleh pemuda Taiwan itu, yang

               sepertinya berkenan melihat Sie.


               “Wawancara  itu  ditutup  dengan  angka  nominal  harga  pernikahan  itu.  Sie  hanya

               menunduk, mencegah orang melihat dia menangis, mencengkeram pahanya agar tidak

               gemetar,  dia  mengangguk,  sepakat.  Sekian  ratus  ribu  di  bayar  saat  pernikahan
               dilangsungkan, sekian puluh ribu akan dibayar setiap bulan untuk keluarga Sie selama

               setahun  ke  depan.  ‘Kalau  semua  sudah  beres,  apakah  pembayaran  bisa  dilakukan
               sekarang?’ Sie dengan suara bergetar bertanya. Karyawan hotel yang membantu Wong

               Lan  tertawa,  bilang,  mana  ada  pembayaran  sebelum  menikah.  Sie  menahan  tangis

               bilang  dia  butuh  uang  segera,  berharap  kalau  memang  memungkinkan,  pernikahan
               dilangsungkan hari itu juga. Astaga, Sie yang dulu benci sekali dua temannya dipaksa

               menikah, hari itu, siang itu, justeru yang meminta pernikahan dilaksanakan segera.


               “Kalian  tahu,  Borno,  Andi,”  Pak  Tua  menghela  nafas  panjang,  ikut  tertunduk  dalam-

               dalam, menekuri meja makan restoran, “Dalam hidup ini, kita masih beruntung, karena
               kita selalu punya banyak pilihan. Apapun masalah kita, tetap saja banyak pilihan solusi

               yang  tersedia.  Sie  Sie  tidak  punya.  Dia  sungguh  tidak  punya  pilihan.  Bapaknya  di

               penjara, Ibunya sekarat, adik-adiknya butuh makan, pernikahan ini akan memberikan
               jalan  keluar.  Jaman  itu,  uang  ratusan  ribu  terbilang  besar,  dan  pembayaran  bulanan

               yang  dijanjikan  pemuda  Taiwan  nilainya  tiga  kali  lipat  dari  penghasilan  keluarga

               mereka selama ini.
   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29