Page 25 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 25

“Pikirannya  buntu, bagi Sie, itu lebih terhormat  dibanding mengemis, meminta-minta
               atau  menjual  diri  seperti  gadis-gadis  lain.  Lagi-pula,  tidak  ada  hukum  yang  melarang

               membeli  istri,  bukan?  Itu  sah,  anggap  saja  pembayaran  mahar.  Sie  berlari  sepanjang

               halaman  hotel  dengan  air-mata  berlinang.  Dia  ingin  berteriak,  tapi  kerongkongannya
               kelu, dia ingin marah, pada siapa? Pada Tuhan? Keputusan itu dia ambil sendiri, tidak

               ada yang bisa disalahkan. Semua pilihannya sendiri, apapun resiko dan harganya.


               “Surat  wasiat  Ibu  Wong  Lan  mensyaratkan  pernikahan  resmi,  maka  surat-menyurat

               harus diurus, itu kabar baik bagi Sie, karena banyak amoy lain yang tidak jelas status

               hukumnya.  Wong  Lan  ingin  segera  membawa  istri  pulang  ke  Taiwan,  Sie  Sie  ingin
               segera  punya  uang,  tujuan  yang  cocok,  karyawan  hotel  segera  berangkat  mengurus

               dokumen. Menjelang malam karyawan hotel itu datang ke rumah sakit, mengabarkan

               semua  beres,  semua  siap.  Pernikahan  bisa  dilaksanakan  kapan  saja,  tinggal
               membubuhkan tanda-tangan.

               “Dan tibalah waktunya Sie bilang kepada Ibunya tentang keputusan gila yang telah dia

               buat. Kalian bayangkan, ruangan gawat darurat, pukul sepuluh malam, hanya ada Sie
               dan Ibunya yang terbaring lemah di ranjang. Suster jaga menunggu di sudut ruangan,

               dokter sudah pulang. Sie gemetar, mengabarkan pada Ibunya, perihal dia akan menjadi
               isteri belian, dibawa orang asing pergi ke negeri seberang lautan.



               ‘Sie janji, Ma. Sie janji semua akan baik-baik saja.’
               Remaja enam belas tahun itu memeluk ibunya, menahan menangis.

               ‘Kau tidak boleh melakukannya, Nak.’

               ‘Sie janji, Ma.’ Gadis itu berbisik terisak.
               ‘Kau sungguh tidak boleh melakukannya, Nak.’ Ibunya terbatuk pelan, ikut menangis.

               ‘Keputusan Sie sudah bulat, Ma. Semua sudah diatur, semua sudah selesai, Sie sudah jadi
               istri orang.’ Sie Sie menyeka bibir Ibunya, ‘Biarlah, Ma. Tidak mengapa. Dengan begini…

               dengan  begini  Ma  bisa  sembuh,  kita  punya  uang  untuk  makan,  adik-adik  bahkan  bisa

               sekolah.’
               ‘Tidak boleh, Nak. Tidak boleh. Ya Tuhan, semua ini salah kami. Kenapa Sie yang harus

               menanggung semua beban?’ Ibunya tersengal.
   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30